Torak tersentak bangun dari tidur yang tidak diinginkannya. Torak meringkuk dalam lingkaran cahaya api unggun yang hampir padam sambil mengintip ke kegelapan Hutan. Dia tak dapat melihat apa-apa. Tidak dapat mendengar apa-apa. Apakah makhluk itu akan datang lagi? Apakah makhluk itu ada di luar sana, mengawasi dengan mata menyala?
Dia merasa hampa, dingin dan kelaparan. Lengannya terluka, dan matanya berat karena lelah, tapi dia benar-benar tidak dapat merasakannya. Semalaman dia menjaga reruntuhan tempat berlindung yang terbuat dari dahan cemara, dan juga menjaga ayahnya yang terluka. Bagaimana ini bisa terjadi?
Baru kemarin mereka membangun tempat berlindung di senja musim gugur yang biru. Torak melucu, dan ayahnya tertawa. Tiba-tiba Hutan bergemuruh. Burung gagak memekik. Dan dari kegelapan di bawah pepohonan muncul bayangan yang lebih gelap: ancaman yang berwujud beruang.
Tiba-tiba kematian datang mengancam. Desingan cakar. Berbagai bunyi yang membuat telinga berdarah. Dalam sedetak jantung makhluk itu telah memorakporandakan tempat berlindung mereka. Dalam sedetak jantung makhluk itu membuat ayahnya terluka parah. Lalu makhluk itu pergi, lenyap seperti kabut ke dalam Hutan.
Beruang apa yang mengejar manusia - lalu pergi tanpa membunuh? Beruang apa yang mempermainkan buruannya?
Di mana beruang itu sekarang?
Torak tidak dapat melihat melampaui sinar yang dipancarkan api, tapi dia tahu bahwa tempat terbuka itu pernah dengan pohon yang patah dan rumput yang terinjakinjak.
Dia mencium bau darah pinus dan tanah yang terkoyak. Dia mendengar riak sedih dan lembut dari sungai yang berjarak tiga puluh langkah dari tempat dia meringkuk.
Beruang itu bisa berada di mana saja sekarang ini.
Ayahnya mengerang di sampingnya. Dengan perlahan dia membuka mata lalu menatap anaknya tanpa tanda-tanda mengenali.
Jantung Torak seraya diremas. "Ini-ini aku," dia tergagap. "Bagaimana ayah?"
Ayahnya meringis kesakitan. Pipinya bersemu abu-abu hingga tato di badannya terlihat jelas. Keringat membuat rambut ayahnya yang hitam panjang menempel ke kulit.
Luka ayahnya sangat parah. Ketika Torak dengan menyumbatkan lumut janggut untuk menghentikan pendarahan, dia melihat usus ayahnya berkilau dalam cahaya api. Dia menahan agar tidak muntah. Dia berharap Fa-ayahnya-tidak melihat, tapi dia pasti lihat. Fa seorang pemburu. Fa melihat segalanya.
"Torak…." Ayahnya menghembuskan napas. Tangannya terulur, lalu memegang tangan Torak dengan erat. Torak menelan liur. Seharusnya anak yang memegang erat tangan ayahnya, bukan sebaliknya.
Torak berusaha bersikap seperti orang dewasa. "ada sedikit daun yarrow," ujarnya sambil merogoh kantong obat. "Mungkin ini bisa menghentikan penda-"
"Simpan saja. Kau juga berdarah."
"Tidak sakit," Torak berdusta. Beruang itu telah menghempaskan dia ke pohon birch sehingga rusuknya memar dan lengan kirinya luka parah.
"Torak- pergilah. Sekarang. Sebelum dia datang lagi."
Torak menatap ayahnya. Ia membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar.
"Kau harus pergi," desah ayahnya.
"Tidak. Tidak. Aku tidak-"
"Torak - aku sekarat. Aku akan mati menjelang matahari terbit."
Torak mencengkeram kantong obatnya. Dia mendengar bunyi pemuruh. "Fa-"
"Berikan - apa yang kubutuhkan dalam Perjalanan Kematian. Lalu kemasi barangbarangmu."
Perjalanan Kematian. Tidak. Tidak.
Tapi rona wajah ayahnya tampak tegas. "Busurku," kata ayahnya. "Tidak anak panah. Kau simpan sisanya. Di tempat tujuanku berburu sangat mudah."
Celaka kulit rusa yang Torak pakai terkoyak di bagian lutut. Dia membenamkan kuku ibu jarinya ke dalam daging. Sakit. Dia berusaha memusatkan perhatian pada rasa sakit itu.
"Makanan," desah ayahnya. "Dendeng. Kau bawa semuanya."
Lutut Torak mulai berdarah. Dia terus membenamkan kukunya. Dia berusaha untuk tidak membayangkan ayahnya dalam Perjalanan Kematian. Dia berusaha tidak membayangkan dirinya sendirian di Hutan. Dia baru berumur dua belas musim panas.
Dia tidak sanggup bertahan hidup sendiri. Dia tidak tahu caranya.
"Torak! Pergilah!"
Sambil cemberut, Torak mengumpulkan senjata milik ayahnya. Dia membagi-bagi anak panah, jari-jarinya tertusuk mata panah yang terbuat dari batu api yang runcing. Dia memanggul kantong panah dan busurnya, lalu mengais-ngais di antara reruntuhan tempat berlindung untuk mencari kapak kecilnya yang terbuat dari batu basal hitam. Keranjangnya yang terbuat dari kayu hazel rusak karena serangan itu sehingga dia terpaksa menjejalkan barang-barangnya ke dalam poncobaju tak berlengan atau mengikatnya ke tali pinggang.
Torak meraih kantong tidur dari kulit rusa kutub.
"Ambil saja kantong tidurku," gumam ayahnya. "Kau tidak pernah memperbaiki milikku. Dan tukar pisau kita."
Torak terperanjat. "Jangan pisau, ayah! Kau membutuhkannya!"
"Kau yang lebih membutuhkan. Dan aku senang bisa membawa barang milikmu dalam Perjalanan Kematian."
"Fa, kumohon. Jangan."
Dari dalam hutan terdengar ranting patah.
Torak berpaling.
Kegelapan itu benar-benar pekat. Ke mana pun memandang, yang terlihat hanyalah bayangan berwujud beruang.
Tidak ada angin.
Tidak ada kicau burung.
Yang ada hanyalah retik api dan detak jantungnya. Bahkan hutan pun menahan napas.
Ayahnya menjilat keringat di bibir. "Dia belum datang," ujarnya. "Tidak lama lagi dia akan datang mencari ayahnya…. Cepat pisaunya."
Torak tak ingin bertukar pisau. Itu berarti kematian bagi ayahnya. Tapi ayahnya menatap dengan tatapan yang tidak ingin dibantah.
Sambil mengatupkan rahan begitu kuat sampai terasa sakit, Torak mengambil pisaunya lalu menaruhnya di tangan Fa. Kemudian ia melepas ikatan sarung pisau yang terbuat dari kulit rusa di tali pinggang ayahnya. Pisau Fa indah dan mematikan, dengan mata pisau yang terbuat dari batu biru dengan gagang dari tanduk rusa merah yang dibebat benang otot rusa agar enak dipegang. Saat menatap benda itu, Torak tersadar. Dia harus bersiap menghadapi hidup tanpa Fa. "Aku tak akan meninggalkanmu, ayah!" teriaknya. "Akan kulawan dia, aku…."
"Jangan! Tak seorang pun bisa melawan beruang ini!"
Gagak terbang dari pohon.
Torak lupa bernapas.
"Dengarkan," desis ayahnya. "Beruang–semua beruang–adalah pemburu terkuat di Hutan. Kau tahu itu. Tapi beruang ini jauh lebih kuat."
Torak merasakan bulu lengannya merinding. Saat menunduk, dia melihat urat nadi kecil di mata ayahnya. "Apa maksudmu, ayah?" bisiknya. "Apa…."
"Beruang itu kerasukan." Wajah ayahnya muram, tidak mirip Fa lagi. "Ada setan dalam dunia lain yang telah merasukinya sehingga dia menjadi jahat."
Sepotong bara memercik. Ranting pohon seperti mendekat untuk ikut didengarkan.
"Setan?" ujar Torak.
Ayahnya memejamkan mata, berusaha mengumpulkan tenaga. "Hidupnya hanya untuk membunuh," kata ayahnya. "Setiap kali membunuh dia bertambah kuat. Dia akan membunuh semuanya. Buruan. Semua akan mati. Hutan ini pun akan mati….." dia terhenti. "Dalam satu rembulan semuanya akan berakhir. Setan itu terlalu kuat."
Sumber: Wolf Brother karya Michelle Paver
Komentar
Posting Komentar