Bagi anak-anak, usia sekolah semestinya menjadi masa paling menyenangkan yang penuh
dengan keceriaan karena pada tahun-tahun itulah mereka mulai mengenyam pendidikan sebagai bekal menjalani kehidupan di masa depan. Pada masa itu, anak-anak pergi ke sekolah menuntut ilmu, mengolah rasa, dan mengasah keterampilan. Di bangku sekolah mereka dapat mengembangkan tiga kemampuan dasar secara optimal: kognitif (daya nalar, intelektual), afektif (sikap, mentalitas, perasaan), dan psikomotorik (kemahiran teknikal). Di usia sekolah setiap anak seyogianya dapat mengikuti proses pendidikan guna mengembangkan segenap potensi diri sehingga tumbuh menjadi pribadi matang dan dewasa serta punya bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup. Dengan bekal pendidikan yang baik, setiap anak bisa hidup sebagai insan yang bermartabat mulia.
Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini, kita sering membaca dan menyaksikan berita dari berbagai daerah: anak-anak usia sekolah mencoba melakukan bunuh diri. Usia sekolah tampaknya merupakan masa yang sangat pahit karena anak-anak mengalami peristiwa buruk yang pasti meninggalkan trauma yang mungkin tak terlupakan sepanjang hayat. Seperti diberitakan, akibat tekanan psikologis yang sangat hebat remaja belia melakukan percobaan bunuh diri, bahkan ada pula yang sudah mengakhiri hidup dengan cara yang sangat memilukan itu. Peristiwa paling mutakhir terjadi di Pekanbaru, Riau. Windar Kristian Waruwu, 12, siswa SD Negeri 010 Tuah Negeri, Kabupaten Siak, Riau, ditemukan meninggal gantung diri. Mental siswa dari keluarga kurang mampu yang baru lulus UASBN itu diduga tertekan karena tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP (Media Indonesia.com, 21/5). Pada umumnya, motif yang mendasari tindakan nekat bunuh diri di kalangan pelajar berusia belia itu lantaran tidak tahan menanggung perasaan malu, misalnya, karena tak mampu membayar SPP (untuk sekolah swasta) atau iuran untuk keperluan kegiatan sekolah. Sedemikian miskinnya orang tua sang pelajar sehingga sekadar membayar iuran kegiatan ekstrakurikuler yang hanya berkisar Rp10.000 mereka tak mampu.
Kemiskinan bukan saja melahirkan derita panjang yang tak tertanggungkan, melainkan juga menimbulkan tragedi kemanusiaan yang amat memilukan: bunuh diri. Kita boleh menyebut peristiwa ini sebagai tragedi karena yang melakukan tindakan percobaan bunuh diri adalah anak-anak usia sekolah. Sungguh, mereka mempunyai hak mutlak untuk mengenyam pendidikan sebagai bekal menyongsong kehidupan yang lebih baik di masa depan. Namun, keluarga mereka mengalami kesulitan finansial karena tidak mampu secara ekonomi sehingga mereka harus berjuang keras untuk memperoleh pendidikan yang layak agar bisa keluar dari belenggu kemiskinan. Namun, mereka tidak berdaya, lalu mengambil jalan pintas: mengakhiri hidup.
Bagaimana kita harus menjelaskan gejala sosial abnormal ini? Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di dalam masyarakat kita? Apakah tatanan sosial yang ada tidak bekerja secara semestinya sehingga tak mampu membendung perilaku masyarakat yang menyimpang? Bagaimana jalinan relasi sosial antarwarga masyarakat terbangun sehingga melahirkan peristiwa tragis itu?
Jika kita kaji lebih mendalam, peristiwa ini, selain merefleksikan masalah kemiskinan yang akut, menunjukkan adanya problem sosial yang kronis dan krusial di dalam masyarakat, yakni kesenjangan ekonomi. Secara kasat mata, kita bisa melihat betapa kesenjangan ekonomi terus melebar dari tahun ke tahun. Kesenjangan ekonomi antara golongan masyarakat kaya dan kelompok masyarakat miskin demikian nyata dan sulit dijembatani. Fakta kesenjangan ekonomi ini kemudian melahirkan apa yang disebutsocial deprivation, yang lazim diartikan sebagai perception that one is worse off relative to those with whom one compares oneself (David Myers, 1998). Suatu situasi buruk yang dialami seseorang menjadi kian memburuk ketika ia membandingkan dengan orang lain yang berada dalam situasi sebaliknya. Anak-anak yang berasal dari keluarga miskin tak mampu menanggung beban derita kemiskinan. Beban derita itu menjadi semakin berat ketika mereka menyaksikan anak-anak lain seusia yang berasal dari keluarga kaya dapat menjalani hidup layak bahkan bisa menikmati aneka jenis kemewahan. Siswa-siswa miskin tak punya uang yang cukup untuk membayar SPP dan membeli buku atau peralatan sekolah, bahkan terpaksa harus berjalan kaki menuju tempat sekolah karena tak ada ongkos transportasi. Sementara itu, peer group mereka yang berasal dari keluarga kaya bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah mahal, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, ikut berbagai kursus dan les privat, punya sopir pribadi yang siap antar/jemput, dan bepergian ke luar kota/luar negeri ketika musim liburan sekolah.
Deprivasi sosial banyak dijumpai di lingkungan masyarakat yang pola kehidupannya sangat individualistis. Bila relasi sosial antarwarga masyarakat cenderung impersonal dan bila setiap anggota masyarakat lebih menonjolkan sikap egosentrisme, perasaan empati atas kesulitan hidup yang dialami anggota masyarakat yang lain menjadi tumpul, bahkan hilang sama sekali. Dalam pola kehidupan demikian, sulit terbangun rasa kebersamaan dan solidaritas. Nilai kolektivitas digantikan nilai individualitas; sikap kolegialitas ditukar dengan sikap keakuan. Menurut Emile Durkheim, tatanan sosial yang tidak berasas organic solidarity, dan sebaliknya berdasar mechanic solidarityakan melemahkan ikatan sosial di antara sesama warganya. Lebih jauh lagi, guncangan pada organic solidarity akan menciptakan kondisi yang membuka peluang munculnya gejala bunuh diri. Durkheim berujar, "It is quite certain that a consistent increase in suicides always attests to a serious upheaval in the organic conditions of society."
Deprivasi sosial ditandai empat hal penting. Pertama, bila kehidupan masyarakat telah kehilangan apa yang disebut social engagement, yakni suatu dinamika interaksi antarwarga masyarakat yang penuh dengan kehangatan, kebersamaan, dan persahabatan yang sangat dekat seperti lazim dijumpai di dalam masyarakat yang bercorak Gemeinschaft. Kedua, bila kohesi sosial telah memudar sehingga setiap warga masyarakat tidak lagi memiliki kekuatan perekat yang bisa menautkan di antara sesamanya. Ketiga, bila kehidupan masyarakat mengalami social detachment, yakni setiap warga masyarakat melepaskan diri dari ikatan kolektivitas sehingga menyebabkan hilangnya collective conscience. Keempat, bila setiap warga masyarakat melakukan social disassociation, yakni setiap warga masyarakat keluar dari ikatan kekelompokan (asosiasi) sehingga di antara mereka tidak lagi merasa memiliki kepentingan bersama.
Jika keempat karakteristik itu ditemui di dalam masyarakat, dapat dipastikan warganya dengan mudah mengalami alienasi sosial. Gejala deprivasi sosial pun akan menjadi kian menguat dan sulit diatasi. Setiap orang mempunyai daya tahan psikologis yang berbeda dalam mengatasi problem deprivasi sosial. Bagi orang yang ketahanan mentalnya lemah dengan mudah mengambil jalan pintas: bunuh diri. Durkheim dalam karya klasik yang menjadi magnum opus, Suicide (1897), secara meyakinkan menulis:"...people with weak social bonds are prone to self-destructive behavior; whenever society loses what it normally possesses..whenever the individual disassociates himself from collective goals in order to seek only his own interests..suicide increases; man is the more vulnerable to self-destruction the more he is detached from any collectivity, that is to say, the more he lives as an egoist."
Kita sungguh sedih berulang kali menyaksikan peristiwa (percobaan) bunuh diri di kalangan anak-anak usia sekolah. Kita menyadari sepenuhnya betapa kemiskinan bukan saja menjadi penghalang utama bagi seseorang untuk mendapat pendidikan, melainkan juga melahirkan deprivasi sosial. Bagi siapa saja yang mendalami sosiologi kemiskinan, dengan mudah dapat memahami mengapa masyarakat miskin sangat rentan terhadap perilaku merusak diri (self-destructive behavior). Di sini makna esensial dan asasi tanggung jawab negara dalam memberi layanan pendidikan bagi anak-anak miskin harus diletakkan. Bila negara dapat menunaikan tanggung jawabnya dengan baik, kita berharap perilaku sosial abnormal ini bisa dieliminasi sehingga tidak berkembang menjadi gejala umum yang berdampak negatif ganda: (i) merusak jiwa dan masa depan anak; dan (ii) membahayakan ketahanan sosial masyarakat. Jika kedua hal itu dibiarkan terjadi, dapat dipastikan bahwa Indonesia memang tak bermasa depan.
Oleh Amich Alhumami Peneliti sosial Department of Anthropology University of Sussex, United Kingdom
dengan keceriaan karena pada tahun-tahun itulah mereka mulai mengenyam pendidikan sebagai bekal menjalani kehidupan di masa depan. Pada masa itu, anak-anak pergi ke sekolah menuntut ilmu, mengolah rasa, dan mengasah keterampilan. Di bangku sekolah mereka dapat mengembangkan tiga kemampuan dasar secara optimal: kognitif (daya nalar, intelektual), afektif (sikap, mentalitas, perasaan), dan psikomotorik (kemahiran teknikal). Di usia sekolah setiap anak seyogianya dapat mengikuti proses pendidikan guna mengembangkan segenap potensi diri sehingga tumbuh menjadi pribadi matang dan dewasa serta punya bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup. Dengan bekal pendidikan yang baik, setiap anak bisa hidup sebagai insan yang bermartabat mulia.
Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini, kita sering membaca dan menyaksikan berita dari berbagai daerah: anak-anak usia sekolah mencoba melakukan bunuh diri. Usia sekolah tampaknya merupakan masa yang sangat pahit karena anak-anak mengalami peristiwa buruk yang pasti meninggalkan trauma yang mungkin tak terlupakan sepanjang hayat. Seperti diberitakan, akibat tekanan psikologis yang sangat hebat remaja belia melakukan percobaan bunuh diri, bahkan ada pula yang sudah mengakhiri hidup dengan cara yang sangat memilukan itu. Peristiwa paling mutakhir terjadi di Pekanbaru, Riau. Windar Kristian Waruwu, 12, siswa SD Negeri 010 Tuah Negeri, Kabupaten Siak, Riau, ditemukan meninggal gantung diri. Mental siswa dari keluarga kurang mampu yang baru lulus UASBN itu diduga tertekan karena tidak bisa melanjutkan pendidikan ke SMP (Media Indonesia.com, 21/5). Pada umumnya, motif yang mendasari tindakan nekat bunuh diri di kalangan pelajar berusia belia itu lantaran tidak tahan menanggung perasaan malu, misalnya, karena tak mampu membayar SPP (untuk sekolah swasta) atau iuran untuk keperluan kegiatan sekolah. Sedemikian miskinnya orang tua sang pelajar sehingga sekadar membayar iuran kegiatan ekstrakurikuler yang hanya berkisar Rp10.000 mereka tak mampu.
Kemiskinan bukan saja melahirkan derita panjang yang tak tertanggungkan, melainkan juga menimbulkan tragedi kemanusiaan yang amat memilukan: bunuh diri. Kita boleh menyebut peristiwa ini sebagai tragedi karena yang melakukan tindakan percobaan bunuh diri adalah anak-anak usia sekolah. Sungguh, mereka mempunyai hak mutlak untuk mengenyam pendidikan sebagai bekal menyongsong kehidupan yang lebih baik di masa depan. Namun, keluarga mereka mengalami kesulitan finansial karena tidak mampu secara ekonomi sehingga mereka harus berjuang keras untuk memperoleh pendidikan yang layak agar bisa keluar dari belenggu kemiskinan. Namun, mereka tidak berdaya, lalu mengambil jalan pintas: mengakhiri hidup.
Bagaimana kita harus menjelaskan gejala sosial abnormal ini? Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di dalam masyarakat kita? Apakah tatanan sosial yang ada tidak bekerja secara semestinya sehingga tak mampu membendung perilaku masyarakat yang menyimpang? Bagaimana jalinan relasi sosial antarwarga masyarakat terbangun sehingga melahirkan peristiwa tragis itu?
Jika kita kaji lebih mendalam, peristiwa ini, selain merefleksikan masalah kemiskinan yang akut, menunjukkan adanya problem sosial yang kronis dan krusial di dalam masyarakat, yakni kesenjangan ekonomi. Secara kasat mata, kita bisa melihat betapa kesenjangan ekonomi terus melebar dari tahun ke tahun. Kesenjangan ekonomi antara golongan masyarakat kaya dan kelompok masyarakat miskin demikian nyata dan sulit dijembatani. Fakta kesenjangan ekonomi ini kemudian melahirkan apa yang disebutsocial deprivation, yang lazim diartikan sebagai perception that one is worse off relative to those with whom one compares oneself (David Myers, 1998). Suatu situasi buruk yang dialami seseorang menjadi kian memburuk ketika ia membandingkan dengan orang lain yang berada dalam situasi sebaliknya. Anak-anak yang berasal dari keluarga miskin tak mampu menanggung beban derita kemiskinan. Beban derita itu menjadi semakin berat ketika mereka menyaksikan anak-anak lain seusia yang berasal dari keluarga kaya dapat menjalani hidup layak bahkan bisa menikmati aneka jenis kemewahan. Siswa-siswa miskin tak punya uang yang cukup untuk membayar SPP dan membeli buku atau peralatan sekolah, bahkan terpaksa harus berjalan kaki menuju tempat sekolah karena tak ada ongkos transportasi. Sementara itu, peer group mereka yang berasal dari keluarga kaya bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah mahal, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, ikut berbagai kursus dan les privat, punya sopir pribadi yang siap antar/jemput, dan bepergian ke luar kota/luar negeri ketika musim liburan sekolah.
Deprivasi sosial banyak dijumpai di lingkungan masyarakat yang pola kehidupannya sangat individualistis. Bila relasi sosial antarwarga masyarakat cenderung impersonal dan bila setiap anggota masyarakat lebih menonjolkan sikap egosentrisme, perasaan empati atas kesulitan hidup yang dialami anggota masyarakat yang lain menjadi tumpul, bahkan hilang sama sekali. Dalam pola kehidupan demikian, sulit terbangun rasa kebersamaan dan solidaritas. Nilai kolektivitas digantikan nilai individualitas; sikap kolegialitas ditukar dengan sikap keakuan. Menurut Emile Durkheim, tatanan sosial yang tidak berasas organic solidarity, dan sebaliknya berdasar mechanic solidarityakan melemahkan ikatan sosial di antara sesama warganya. Lebih jauh lagi, guncangan pada organic solidarity akan menciptakan kondisi yang membuka peluang munculnya gejala bunuh diri. Durkheim berujar, "It is quite certain that a consistent increase in suicides always attests to a serious upheaval in the organic conditions of society."
Deprivasi sosial ditandai empat hal penting. Pertama, bila kehidupan masyarakat telah kehilangan apa yang disebut social engagement, yakni suatu dinamika interaksi antarwarga masyarakat yang penuh dengan kehangatan, kebersamaan, dan persahabatan yang sangat dekat seperti lazim dijumpai di dalam masyarakat yang bercorak Gemeinschaft. Kedua, bila kohesi sosial telah memudar sehingga setiap warga masyarakat tidak lagi memiliki kekuatan perekat yang bisa menautkan di antara sesamanya. Ketiga, bila kehidupan masyarakat mengalami social detachment, yakni setiap warga masyarakat melepaskan diri dari ikatan kolektivitas sehingga menyebabkan hilangnya collective conscience. Keempat, bila setiap warga masyarakat melakukan social disassociation, yakni setiap warga masyarakat keluar dari ikatan kekelompokan (asosiasi) sehingga di antara mereka tidak lagi merasa memiliki kepentingan bersama.
Jika keempat karakteristik itu ditemui di dalam masyarakat, dapat dipastikan warganya dengan mudah mengalami alienasi sosial. Gejala deprivasi sosial pun akan menjadi kian menguat dan sulit diatasi. Setiap orang mempunyai daya tahan psikologis yang berbeda dalam mengatasi problem deprivasi sosial. Bagi orang yang ketahanan mentalnya lemah dengan mudah mengambil jalan pintas: bunuh diri. Durkheim dalam karya klasik yang menjadi magnum opus, Suicide (1897), secara meyakinkan menulis:"...people with weak social bonds are prone to self-destructive behavior; whenever society loses what it normally possesses..whenever the individual disassociates himself from collective goals in order to seek only his own interests..suicide increases; man is the more vulnerable to self-destruction the more he is detached from any collectivity, that is to say, the more he lives as an egoist."
Kita sungguh sedih berulang kali menyaksikan peristiwa (percobaan) bunuh diri di kalangan anak-anak usia sekolah. Kita menyadari sepenuhnya betapa kemiskinan bukan saja menjadi penghalang utama bagi seseorang untuk mendapat pendidikan, melainkan juga melahirkan deprivasi sosial. Bagi siapa saja yang mendalami sosiologi kemiskinan, dengan mudah dapat memahami mengapa masyarakat miskin sangat rentan terhadap perilaku merusak diri (self-destructive behavior). Di sini makna esensial dan asasi tanggung jawab negara dalam memberi layanan pendidikan bagi anak-anak miskin harus diletakkan. Bila negara dapat menunaikan tanggung jawabnya dengan baik, kita berharap perilaku sosial abnormal ini bisa dieliminasi sehingga tidak berkembang menjadi gejala umum yang berdampak negatif ganda: (i) merusak jiwa dan masa depan anak; dan (ii) membahayakan ketahanan sosial masyarakat. Jika kedua hal itu dibiarkan terjadi, dapat dipastikan bahwa Indonesia memang tak bermasa depan.
Oleh Amich Alhumami Peneliti sosial Department of Anthropology University of Sussex, United Kingdom
Komentar
Posting Komentar