Supervisi atau pengawasan merupakan salah satu aspek penting dari siklus proses belajar-mengajar di sekolah. Dari perspektif manajemen kurikulum,
supervisi merupakan bagian integral dari dimensi pengembangan kurikulum (curriculum development) dan umpan balik (feedback) terhadap implementasi dokumen tertulis dari kurikulum (Fenwick W English, 1996). Peran dan fungsi pengawasan menjadi sangat penting bagi capaian akademik siswa dan kapasitas guru dalam mengajar. Dalam tahapan yang lebih besar, sesungguhnya proses pengawasan merupakan salah satu aspek yang cukup dominan dalam menilai efektivitas manajemen sekolah. Karena itu, penting untuk mengetahui asumsi filosofis dari siklus supervisi, bagaimana sebaiknya proses supervisi dilakukan, harus melibatkan siapa saja, serta apa substansi yang sebaiknya disupervisi.
Prinsip supervisi
Berdasarkan pengalaman kami berdua, supervisi haruslah merupakan sebuah proses tindakan yang secara sadar mengarahkan guru dan pengawas untuk bekerja secara bersama dalam merencanakan pembelajaran. Prinsip ini sesuai dengan keyakinan bahwa kemampuan seorang guru dan pengawas hanya dapat berkembang dalam beberapa hal pada suatu waktu (teacher and supervisor can improve only on a few things at one time). Artinya kita tidak dapat mengembangkan beberapa aspek dari perilaku secara simultan. Peningkatan keterampilan dan pengetahuan biasanya terjadi ketika seorang guru dan pengawas telah memahami suatu proses secara bersama, kemudian bersepakat untuk mencari pengetahuan dan keterampilan baru yang lebih baik lagi.
Sebagaimana halnya berlatih badminton, sangat tidak mungkin seorang pelatih mengajarkan cara men-smash, memukul lob, bermain netting, dan teknik servis sekaligus pada waktu yang sama. Semuanya memerlukan tahapan sesuai dengan keinginan bersama antara pelatih dan pemain. Demikian juga dengan mengajar, pengawas harus membantu guru untuk fokus pada keterampilan membuat lesson design di tahap awal, baru kemudian memikirkan instructional strategies yang paling tepat untuk digunakan dan seterusnya.
Prinsip kedua yang kami yakini harus dimiliki guru dan pengawas dalam berinteraksi adalah bahwa seseorang dapat berkembang jika cara kerjanya terus dihargai dan tidak berada di bawah tekanan atau ancaman (teachers improve the most when they are not threatened). Memberikan kebebasan kepada guru untuk bekerja secara maksimal dan mendiskusikan ketimbang terus memberikan instruksi adalah sebuah pendekatan yang harus disadari semua pengawas. Tidak mudah bagi seorang guru yang telah lelah dalam mengajar tetapi harus mengalami tekanan dari pengawas. Karena itu, kesadaran untuk saling belajar sangat dibutuhkan dalam siklus supervisi yang sehat dan berkesinambungan.
Ketiga, kami juga memercayai bahwa guru dapat belajar dengan lebih baik ketika mereka diberi kesempatan untuk menganalisis dan menilai cara mengajar mereka sendiri (teachers learn better when they have the opportunity to analyze and judge their own performance). Semakin sering kesempatan seperti ini dilakukan, maka pengawas akan lebih mudah dalam menjalankan tugasnya. Kata kunci dari proses ini adalah keinginan pengawas untuk selalu belajar dari cara guru menilai performa mereka sendiri, kemudian mendiskusikannya dalam batas pemahaman dan pengalaman yang diperoleh guru ketika berinteraksi dengan siswa di dalam kelas.
Dalam tahapan ini, biasanya pengawas yang cerdas selalu bertanya, "Bagaimana perasaan Bapak/Ibu hari ini ketika mengajar tadi?" Artinya, pengawas secara sadar belum akan menilai performa seorang guru sebelum memberi kesempatan terlebih dahulu kepada guru tersebut untuk menilai performa mereka hari itu. Jika proses ini dilakukan seorang pengawas, sesungguhnya dia sedang mengubah mentalitas guru dari yang sebelumnya sangat bergantung pada pola pengawasan serba ketat dan instruktif, menjadi lebih independen dan percaya diri karena diberi kepercayaan untuk menilai performa mereka sendiri.
Prinsip keempat atau terakhir yang kami yakini adalah bahwa peningkatan kemampuan guru akan terjadi jika proses supervisi didasarkan pada semangat hubungan pembelajaran yang saling menolong daripada semata-mata hanya menilai baik-buruk atau salah-benarnya seorang guru (improvement is greater when supervision is perceived as learning-helping relationship rather than a judgemental relationship). Tujuan yang paling fundamental dari sebuah proses supervisi adalah menolong orang lain agar menjadi guru yang lebih baik sehingga kemampuan mendesain rencana pembelajaran dan mengajarnya itu sendiri terus berkembang.
Meskipun penilaian dan evaluasi sangat dibutuhkan dalam proses supervisi, kedua hal ini harus dipandang sebagai tools atau instrumen yang justru dapat digunakan untuk menolong seseorang dalam meningkatkan kemampuan mengajarnya. Selain itu, rasa saling percaya (trust) adalah kunci pokok dalam membangun hubungan yang lebih kooperatif antara guru dan pengawas. Rasa saling percaya hanya akan tumbuh ketika kejujuran, komunikasi yang terbuka, serta komitmen untuk meningkatkan pelayanan pendidikan terhadap siswa ke arah yang lebih baik disepakati bersama antara pengawas dan guru. Prinsip-prinsip inilah yang penting dan perlu untuk dipahami sekaligus dilakukan para pengawas dan guru di lingkungan sekolah masing-masing.
Siklus supervisi
Jika keempat prinsip di atas disepakati, beberapa tahapan dalam siklus supervisi pasti akan dengan mudah dilakukan. Proses dan siklus supervisi yang akan dikembangkan biasanya mencakup 3 (tiga) tahap, yaitu (1) merumuskan dan mendiskusikan rancang bangun rencana pembelajaran (lesson design); (2) melakukan observasi kelas untuk memastikan apakah skema lesson design diajarkan secara benar; serta (3) me-reviewproses pengajaran berdasarkan observasi dan pencatatan yang dilakukan oleh pengawas. Jelas sekali ketiga tahapan ini memerlukan pengetahuan, pemahaman, dan ketersediaan waktu yang cukup bagi pengawas ketika akan melakukannya.
Ketiga tahapan ini memang ideal. Namun, untuk kasus pengawasan di sekolah-sekolah kita, pada prakteknya tak semua pengawas mampu melakukannya. Hal ini paling tidak karena dua hal. Pertama, jumlah pengawas yang masih terbatas, sementara jumlah sekolah lebih banyak. Selain itu, di beberapa daerah pengawas juga menjadi kurang maksimal melakukan proses supervisi yang ideal karena jarak antarsekolah berjauhan. Kedua, tingkat kemampuan dan pemahaman pengawas terhadap siklus pengawasan juga belum merata sehingga banyak sekali pengawas yang datang ke sekolah hanya duduk di ruang kepala sekolah, memanggil guru tanpa melakukan observasi kelas. Untuk itulah ketiga tahapan di atas penting untuk dipahami secara jelas oleh para pengawas.
Berdasarkan empat prinsip supervisi di atas, pada tahap awal harus terjadi diskusi secara intensif antara pengawas dan guru tentang rancang bangun rencana pembelajaran yang meliputi topik-topik yang akan diajarkan, bagaimana merumuskan tujuan pembelajaran secara ideal dan berdasar kebutuhan siswa, melakukan prosedur pengajaran sesuai pilihan instructional strategies yang telah ditetapkan, serta melihat bagaimana guru memastikan bahwa apa yang akan diajarkannya dipahami siswa (evaluation).
Pada tahap kedua pengawas juga dituntut dan perlu melakukan observasi kelas untuk memastikan apa yang ditulis dalam rencana pembelajaran diajarkan sesuai dengan desainnya. Ketika melakukan observasi kelas, pengawas seyogianya menghindari interaksi langsung dengan guru. Pengawas hanya mengobservasi dan membuat catatan sebanyak mungkin selama proses interaksi belajar-mengajar berlangsung. Catatan menjadi penting untuk melihat kesesuaian antara topik, tujuan, proses pengajaran, dan evaluasi yang ditulis dalam rencana pembelajaran.
Tahap terakhir adalah melakukan review terhadap proses belajar-mengajar yang telah dilakukan guru. Proses review sebaiknya dilakukan berdasarkan rekaman dan data yang diperoleh pengawas secara langsung ketika melakukan observasi kelas, dan pengawas sebaiknya menghindari untuk menilai terlebih dahulu, tetapi hanya menunjukkan tentang apa yang telah diobservasi. Jika guru telah membaca dengan seksama data hasil observasi tersebut, barulah didiskusikan dan dianalisis, pada aspek apa guru harus memperbaiki performanya. Hasil dari diskusi ini kemudian dicatat dan disepakati guru dan pengawas, untuk dijadikan bahan perbaikan pada proses pembelajaran berikutnya. Pertanyaan sederhananya adalah, seberapa banyak dari pengawas dan guru kita yang memahami prinsip supervisi dan melakukan proses dan siklus supervisi yang ideal seperti ini? Wallahu a'lam bis-shawab.
supervisi merupakan bagian integral dari dimensi pengembangan kurikulum (curriculum development) dan umpan balik (feedback) terhadap implementasi dokumen tertulis dari kurikulum (Fenwick W English, 1996). Peran dan fungsi pengawasan menjadi sangat penting bagi capaian akademik siswa dan kapasitas guru dalam mengajar. Dalam tahapan yang lebih besar, sesungguhnya proses pengawasan merupakan salah satu aspek yang cukup dominan dalam menilai efektivitas manajemen sekolah. Karena itu, penting untuk mengetahui asumsi filosofis dari siklus supervisi, bagaimana sebaiknya proses supervisi dilakukan, harus melibatkan siapa saja, serta apa substansi yang sebaiknya disupervisi.
Prinsip supervisi
Berdasarkan pengalaman kami berdua, supervisi haruslah merupakan sebuah proses tindakan yang secara sadar mengarahkan guru dan pengawas untuk bekerja secara bersama dalam merencanakan pembelajaran. Prinsip ini sesuai dengan keyakinan bahwa kemampuan seorang guru dan pengawas hanya dapat berkembang dalam beberapa hal pada suatu waktu (teacher and supervisor can improve only on a few things at one time). Artinya kita tidak dapat mengembangkan beberapa aspek dari perilaku secara simultan. Peningkatan keterampilan dan pengetahuan biasanya terjadi ketika seorang guru dan pengawas telah memahami suatu proses secara bersama, kemudian bersepakat untuk mencari pengetahuan dan keterampilan baru yang lebih baik lagi.
Sebagaimana halnya berlatih badminton, sangat tidak mungkin seorang pelatih mengajarkan cara men-smash, memukul lob, bermain netting, dan teknik servis sekaligus pada waktu yang sama. Semuanya memerlukan tahapan sesuai dengan keinginan bersama antara pelatih dan pemain. Demikian juga dengan mengajar, pengawas harus membantu guru untuk fokus pada keterampilan membuat lesson design di tahap awal, baru kemudian memikirkan instructional strategies yang paling tepat untuk digunakan dan seterusnya.
Prinsip kedua yang kami yakini harus dimiliki guru dan pengawas dalam berinteraksi adalah bahwa seseorang dapat berkembang jika cara kerjanya terus dihargai dan tidak berada di bawah tekanan atau ancaman (teachers improve the most when they are not threatened). Memberikan kebebasan kepada guru untuk bekerja secara maksimal dan mendiskusikan ketimbang terus memberikan instruksi adalah sebuah pendekatan yang harus disadari semua pengawas. Tidak mudah bagi seorang guru yang telah lelah dalam mengajar tetapi harus mengalami tekanan dari pengawas. Karena itu, kesadaran untuk saling belajar sangat dibutuhkan dalam siklus supervisi yang sehat dan berkesinambungan.
Ketiga, kami juga memercayai bahwa guru dapat belajar dengan lebih baik ketika mereka diberi kesempatan untuk menganalisis dan menilai cara mengajar mereka sendiri (teachers learn better when they have the opportunity to analyze and judge their own performance). Semakin sering kesempatan seperti ini dilakukan, maka pengawas akan lebih mudah dalam menjalankan tugasnya. Kata kunci dari proses ini adalah keinginan pengawas untuk selalu belajar dari cara guru menilai performa mereka sendiri, kemudian mendiskusikannya dalam batas pemahaman dan pengalaman yang diperoleh guru ketika berinteraksi dengan siswa di dalam kelas.
Dalam tahapan ini, biasanya pengawas yang cerdas selalu bertanya, "Bagaimana perasaan Bapak/Ibu hari ini ketika mengajar tadi?" Artinya, pengawas secara sadar belum akan menilai performa seorang guru sebelum memberi kesempatan terlebih dahulu kepada guru tersebut untuk menilai performa mereka hari itu. Jika proses ini dilakukan seorang pengawas, sesungguhnya dia sedang mengubah mentalitas guru dari yang sebelumnya sangat bergantung pada pola pengawasan serba ketat dan instruktif, menjadi lebih independen dan percaya diri karena diberi kepercayaan untuk menilai performa mereka sendiri.
Prinsip keempat atau terakhir yang kami yakini adalah bahwa peningkatan kemampuan guru akan terjadi jika proses supervisi didasarkan pada semangat hubungan pembelajaran yang saling menolong daripada semata-mata hanya menilai baik-buruk atau salah-benarnya seorang guru (improvement is greater when supervision is perceived as learning-helping relationship rather than a judgemental relationship). Tujuan yang paling fundamental dari sebuah proses supervisi adalah menolong orang lain agar menjadi guru yang lebih baik sehingga kemampuan mendesain rencana pembelajaran dan mengajarnya itu sendiri terus berkembang.
Meskipun penilaian dan evaluasi sangat dibutuhkan dalam proses supervisi, kedua hal ini harus dipandang sebagai tools atau instrumen yang justru dapat digunakan untuk menolong seseorang dalam meningkatkan kemampuan mengajarnya. Selain itu, rasa saling percaya (trust) adalah kunci pokok dalam membangun hubungan yang lebih kooperatif antara guru dan pengawas. Rasa saling percaya hanya akan tumbuh ketika kejujuran, komunikasi yang terbuka, serta komitmen untuk meningkatkan pelayanan pendidikan terhadap siswa ke arah yang lebih baik disepakati bersama antara pengawas dan guru. Prinsip-prinsip inilah yang penting dan perlu untuk dipahami sekaligus dilakukan para pengawas dan guru di lingkungan sekolah masing-masing.
Siklus supervisi
Jika keempat prinsip di atas disepakati, beberapa tahapan dalam siklus supervisi pasti akan dengan mudah dilakukan. Proses dan siklus supervisi yang akan dikembangkan biasanya mencakup 3 (tiga) tahap, yaitu (1) merumuskan dan mendiskusikan rancang bangun rencana pembelajaran (lesson design); (2) melakukan observasi kelas untuk memastikan apakah skema lesson design diajarkan secara benar; serta (3) me-reviewproses pengajaran berdasarkan observasi dan pencatatan yang dilakukan oleh pengawas. Jelas sekali ketiga tahapan ini memerlukan pengetahuan, pemahaman, dan ketersediaan waktu yang cukup bagi pengawas ketika akan melakukannya.
Ketiga tahapan ini memang ideal. Namun, untuk kasus pengawasan di sekolah-sekolah kita, pada prakteknya tak semua pengawas mampu melakukannya. Hal ini paling tidak karena dua hal. Pertama, jumlah pengawas yang masih terbatas, sementara jumlah sekolah lebih banyak. Selain itu, di beberapa daerah pengawas juga menjadi kurang maksimal melakukan proses supervisi yang ideal karena jarak antarsekolah berjauhan. Kedua, tingkat kemampuan dan pemahaman pengawas terhadap siklus pengawasan juga belum merata sehingga banyak sekali pengawas yang datang ke sekolah hanya duduk di ruang kepala sekolah, memanggil guru tanpa melakukan observasi kelas. Untuk itulah ketiga tahapan di atas penting untuk dipahami secara jelas oleh para pengawas.
Berdasarkan empat prinsip supervisi di atas, pada tahap awal harus terjadi diskusi secara intensif antara pengawas dan guru tentang rancang bangun rencana pembelajaran yang meliputi topik-topik yang akan diajarkan, bagaimana merumuskan tujuan pembelajaran secara ideal dan berdasar kebutuhan siswa, melakukan prosedur pengajaran sesuai pilihan instructional strategies yang telah ditetapkan, serta melihat bagaimana guru memastikan bahwa apa yang akan diajarkannya dipahami siswa (evaluation).
Pada tahap kedua pengawas juga dituntut dan perlu melakukan observasi kelas untuk memastikan apa yang ditulis dalam rencana pembelajaran diajarkan sesuai dengan desainnya. Ketika melakukan observasi kelas, pengawas seyogianya menghindari interaksi langsung dengan guru. Pengawas hanya mengobservasi dan membuat catatan sebanyak mungkin selama proses interaksi belajar-mengajar berlangsung. Catatan menjadi penting untuk melihat kesesuaian antara topik, tujuan, proses pengajaran, dan evaluasi yang ditulis dalam rencana pembelajaran.
Tahap terakhir adalah melakukan review terhadap proses belajar-mengajar yang telah dilakukan guru. Proses review sebaiknya dilakukan berdasarkan rekaman dan data yang diperoleh pengawas secara langsung ketika melakukan observasi kelas, dan pengawas sebaiknya menghindari untuk menilai terlebih dahulu, tetapi hanya menunjukkan tentang apa yang telah diobservasi. Jika guru telah membaca dengan seksama data hasil observasi tersebut, barulah didiskusikan dan dianalisis, pada aspek apa guru harus memperbaiki performanya. Hasil dari diskusi ini kemudian dicatat dan disepakati guru dan pengawas, untuk dijadikan bahan perbaikan pada proses pembelajaran berikutnya. Pertanyaan sederhananya adalah, seberapa banyak dari pengawas dan guru kita yang memahami prinsip supervisi dan melakukan proses dan siklus supervisi yang ideal seperti ini? Wallahu a'lam bis-shawab.
Komentar
Posting Komentar