Oleh, Azyumardi Azra
Satu Juni 2010. Saya ingat Pancasila dan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 di dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Enam puluh lima tahun sudah berlalu; dan tetap terkesima ketika membaca pidato Bung Karno dengan gaya oratorik dan lisannya, lengkap dalam bahasa Indonesia, tetapi dibumbui berbagai ungkapan, istilah, dan kosakata asing dan bahasa daerah. Terasa pidato itu sangat hidup dan membakar semangat memperkuat persatuan dan usaha mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Tidak heran kalau pidato itu mendapat sambutan antusias para anggota BPUPKI, yang sering bertepuk tangan.
Apa yang disampaikan Bung Karno tentang 'Pancasila' memang berbeda dalam segi urutan dengan Pancasila yang ada di dalam Pembukaan UUD 1945, yang kemudian menjadi baku sampai hari ini. Sila-sila yang juga disebut sebagai 'prinsip' oleh Bung Karno adalah: Pertama, kebangsaan Indonesia; kedua, internasionalisme atau perikemanusiaan; ketiga, mufakat atau demokrasi; keempat, kesejahteraan sosial; dan kelima Ketuhanan. Khusus untuk yang terakhir ini, Bung Karno menjelaskan: "Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa .… Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan …. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada 'egoisme agama' .… Marilah kita amalkan, jalankan agama .… dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain."
Tetapi, Bung Karno tidak hanya bicara tentang lima dasar, prinsip, atau sila. Jika ada orang yang tidak suka dengan lima, dia bisa memerasnya menjadi tiga dasar saja: kebangsaan dan internasionalisme [yang juga dia sebut socio-nasionalisme], kebangsaan dan perikemanusiaan [socio-democratie], dan ketuhanan. Bahkan, Bung Karno juga siap memeras ketika sila itu menjadi satu sila saja, yang tulen dari perkataan Indonesia, yaitu gotong royong. Lalu Bung Karno menyatakan, "Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila, tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih; Trisila, Ekasila, atau Pancasila.''
Kita tahu, akhirnya Pancasilalah yang dipilih dengan penyesuaian urutan dan kata-kata sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Masalahnya sekarang; seberapa banyak di antara anak bangsa, khususnya generasi muda yang tahu tentang Pancasila; semangat zaman yang mendorong kemunculannya; dinamika politik seputar perumusannya, dan seterusnya. Mungkin yang masih saja menjadi ingatan kolektif banyak kalangan masyarakat kita adalah: Pancasila pada masa Pemerintahan Orde Baru pernah dijadikan 'alat' untuk mempertahankan status quo kekuasaan dengan mengorbankan hak-hak rakyat.
Terlepas dari pasang dan surutnya dalam perjalanan sejarah negara-bangsa Indonesia sepanjang 65 tahun ini, Pancasila merupakan sebuah 'political invention', penemuan politik yang luar biasa; sesuatu yang genuine, meski Bung Karno juga terkenal sebagai pemikir eklektik, yang mengambil inspirasi dari berbagai wacana dan konsep, yang bukan tidak jarang bertolak belakang satu sama lain-ingat saja Nasakom, misalnya. Terlepas dari eklektisisme itu, bagaimanapun, sebagai sebuah paradigma untuk kehidupan negara-bangsa, Soekarno akhirnya dapat merumuskan Pancasila secara padu di dalam satu kesatuan, sehingga sekaligus pula dalam mengakomodasi berbagai realitas historis, sosiologis, politis, dan religius dalam kehidupan berbangsa bernegara, baik di masa pergerakan kemerdekaan, pasca-kemerdekaan, dan seterusnya.
Dengan menyatakan hal seperti itu, sebagian orang boleh jadi berpandangan, bahwa hal itu merupakan semacam idealisasi, romantisasi, atau bahkan mitologisasi Pancasila. Pandangan seperti itu tidaklah terlalu salah; dan sebaliknya bahkan diperlukan. Karena bagaimanapun, prinsip-prinsip atau sila-sila yang disebut Soekarno sebagai weltaanschauung (pandangan dunia) memang sepatutnya mengandung kerangka filosofis yang sarat dengan pandangan-pandangan idealistik, yang menjadi semacam titik ideal harus diupayakan negara dan warganya secara terusmenerus-sebuah perjuangan yang tidak pernah selesai.
Karena itu, tidak pada tempatnya jika ada di antara kita yang berpendapat, Pancasila tidak lagi relevan, karena lebarnya jurang di antara prinsip dan sila-sila Pancasila dengan realitas kehidupan hari ini, dan bahkan di masa depan. Adanya kenyataan seperti itu, seharusnya menjadi daya dorong untuk mengatasi jurang dan kesenjangan antara cita ideal dalam pandangan dunia kita dengan realitas yang ada di depan mata. Dalam konteks itu, ingatan bersama pada Pancasila mesti senantiasa disegarkan; paling tidak dengan mengingat Pancasila, kita bisa menyadari betapa banyak hal yang masih harus dilakukan untuk memajukan kehidupan berbangsa bernegera.
Apa yang disampaikan Bung Karno tentang 'Pancasila' memang berbeda dalam segi urutan dengan Pancasila yang ada di dalam Pembukaan UUD 1945, yang kemudian menjadi baku sampai hari ini. Sila-sila yang juga disebut sebagai 'prinsip' oleh Bung Karno adalah: Pertama, kebangsaan Indonesia; kedua, internasionalisme atau perikemanusiaan; ketiga, mufakat atau demokrasi; keempat, kesejahteraan sosial; dan kelima Ketuhanan. Khusus untuk yang terakhir ini, Bung Karno menjelaskan: "Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa .… Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan …. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada 'egoisme agama' .… Marilah kita amalkan, jalankan agama .… dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain."
Tetapi, Bung Karno tidak hanya bicara tentang lima dasar, prinsip, atau sila. Jika ada orang yang tidak suka dengan lima, dia bisa memerasnya menjadi tiga dasar saja: kebangsaan dan internasionalisme [yang juga dia sebut socio-nasionalisme], kebangsaan dan perikemanusiaan [socio-democratie], dan ketuhanan. Bahkan, Bung Karno juga siap memeras ketika sila itu menjadi satu sila saja, yang tulen dari perkataan Indonesia, yaitu gotong royong. Lalu Bung Karno menyatakan, "Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila, tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih; Trisila, Ekasila, atau Pancasila.''
Kita tahu, akhirnya Pancasilalah yang dipilih dengan penyesuaian urutan dan kata-kata sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Masalahnya sekarang; seberapa banyak di antara anak bangsa, khususnya generasi muda yang tahu tentang Pancasila; semangat zaman yang mendorong kemunculannya; dinamika politik seputar perumusannya, dan seterusnya. Mungkin yang masih saja menjadi ingatan kolektif banyak kalangan masyarakat kita adalah: Pancasila pada masa Pemerintahan Orde Baru pernah dijadikan 'alat' untuk mempertahankan status quo kekuasaan dengan mengorbankan hak-hak rakyat.
Terlepas dari pasang dan surutnya dalam perjalanan sejarah negara-bangsa Indonesia sepanjang 65 tahun ini, Pancasila merupakan sebuah 'political invention', penemuan politik yang luar biasa; sesuatu yang genuine, meski Bung Karno juga terkenal sebagai pemikir eklektik, yang mengambil inspirasi dari berbagai wacana dan konsep, yang bukan tidak jarang bertolak belakang satu sama lain-ingat saja Nasakom, misalnya. Terlepas dari eklektisisme itu, bagaimanapun, sebagai sebuah paradigma untuk kehidupan negara-bangsa, Soekarno akhirnya dapat merumuskan Pancasila secara padu di dalam satu kesatuan, sehingga sekaligus pula dalam mengakomodasi berbagai realitas historis, sosiologis, politis, dan religius dalam kehidupan berbangsa bernegara, baik di masa pergerakan kemerdekaan, pasca-kemerdekaan, dan seterusnya.
Dengan menyatakan hal seperti itu, sebagian orang boleh jadi berpandangan, bahwa hal itu merupakan semacam idealisasi, romantisasi, atau bahkan mitologisasi Pancasila. Pandangan seperti itu tidaklah terlalu salah; dan sebaliknya bahkan diperlukan. Karena bagaimanapun, prinsip-prinsip atau sila-sila yang disebut Soekarno sebagai weltaanschauung (pandangan dunia) memang sepatutnya mengandung kerangka filosofis yang sarat dengan pandangan-pandangan idealistik, yang menjadi semacam titik ideal harus diupayakan negara dan warganya secara terusmenerus-sebuah perjuangan yang tidak pernah selesai.
Karena itu, tidak pada tempatnya jika ada di antara kita yang berpendapat, Pancasila tidak lagi relevan, karena lebarnya jurang di antara prinsip dan sila-sila Pancasila dengan realitas kehidupan hari ini, dan bahkan di masa depan. Adanya kenyataan seperti itu, seharusnya menjadi daya dorong untuk mengatasi jurang dan kesenjangan antara cita ideal dalam pandangan dunia kita dengan realitas yang ada di depan mata. Dalam konteks itu, ingatan bersama pada Pancasila mesti senantiasa disegarkan; paling tidak dengan mengingat Pancasila, kita bisa menyadari betapa banyak hal yang masih harus dilakukan untuk memajukan kehidupan berbangsa bernegera.
Komentar
Posting Komentar