A Hakam Naja
Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PAN
Mohamad Basyir, anak berusia 11 tahun, telah memahami arti pentingnya pendidikan. Arti penting pendidikan bagaikan kehormatan yang harus dijaganya. Namun ironisnya, Mohamad Basyir memahami menjaga kehormatan pendidikan dengan cara nekat, yaitu mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di tempat penampungan pedagang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu 14 Juli 2010.
Basyir nekat bunuh diri karena diduga malu setelah keinginannya untuk sekolah lagi tidak terpenuhi. Orang tua Basyir yang hanya pedagang kecil di pasar tak sanggup membiayai sekolah anaknya itu.
Peristiwa Basyir mengundang pertanyaan pada kita semua, setelah anggaran pendidikan terus meningkat signifikan. Masih banyak saja anak-anak Indonesia yang tidak terurus pendidikannya. Tak terkecuali Basyir, si kecil yang penuh cita-cita. Lalu, di mana tanggung jawab negara saat ini, yang membiarkan anak-anak negerinya terkulai untuk mencari arti hidup?
Amanat Konstitusi
Semakin tinggi anggaran pendidikan yang dialokasikan pada APBN dan APBD sesuai amanat UUD NRI 1945 sekurang-kurangnya 20 persen, masyarakat belum terlalu merasakan manfaatnya secara nyata karena biaya pendidikan yang dibebankan kepada masyarakat juga terus meningkat dari waktu ke waktu.
Peningkatan biaya pendidikan terus merebak, baik berupa SPP (terutama sekolah swasta di tingkat SD-SMP) maupun berupa pungutan-pungutan dengan nama sumbangan wajib, lembar LKS, uang gedung, dan buku di sekolah negeri dan swasta.
Karena belum terpenuhi dalam bentuk BOS (biaya operasional pendidikan), sekolah yang berkualifikasi tinggi, yang konsisten tidak memungut biaya pendidikan akan lebih prihatin karena pas-pasan kesejahteraan guru dan sarana prasarananya. Seharusnya, dana BOS diimbangi oleh alokasi dana pendidikan APBD provinsi dan kabupaten/kota seperti amanat konstitusi tersebut.
Hal itu terjadi karena anggaran pendidikan di Indonesia yang mencapai 20 persen tidak tepat sasaran dalam penggunaannya. Apalagi anggaran yang besar tersebut masih sering terjadi kebocoran, alokasi yang tidak tepat, mark up, serta dibelanjakan tidak sesuai peruntukan, bahkan beasiswa untuk kalangan tidak mampu sulit diakses oleh masyarakat miskin.
Seharusnya, komponen BOS yang mesti dipenuhi terlebih dahulu adalah kebutuhan dasar (basic needs), seperti operasional sekolah yang meliputi; buku dan alat tulis. Selanjutnya, biaya untuk operasional dan perawatan gedung sekolah serta tambahan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan. Kemudian, pada kebutuhan spesifik kaum miskin, seperti dana transportasi ke sekolah untuk siswa miskin.
Tanggung Jawab Negara
Pasal 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) menyatakan, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan." Dan, Ayat (2): "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya." Amanat konstitusi ini dikukuhkan lagi dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan DPR 11 Juni 2003 dan ditandatangani presiden pada 8 Juli 2003.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN), antara lain, disebutkan: Pertama, "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu" (Pasal 5 Ayat [1]). Kedua, "Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar" (Pasal 6 Ayat [1]).
Ketiga, "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi" (Pasal 11 Ayat [1]). Keempat, "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun" (Pasal 11 Ayat [2]).
Perintah Konstitusi dan UU ini sesuai dengan Konvensi Internasional Bidang Pendidikan yang dilaksanakan di Dakkar, Senegal, Afrika pada 2000. Konvensi menyebutkan, semua negara diwajibkan memberikan pendidikan dasar yang bermutu secara gratis kepada semua warga negaranya.
Tanpa komitmen yang kuat, peran negara yang seharusnya sebagai pelayan publik dengan menyediakan akses bagi kebutuhan publik semakin menciut. Makin menipisnya akses pendidikan, khususnya di kalangan miskin, menjadi ironi seiring dengan anggaran pendidikan yang telah mencapai 20 persen. Padahal, banyak negara berkembang lain, seperti Turki, Brasil, dan Meksiko bahkan sudah menyediakan pendidikan gratis sampai tingkat perguruan tinggi.
Solusi
Menghadapi persoalan tersebut, harus dibuat perencanaan yang lebih komprehensif dengan menentukan unit biaya untuk semua tingkat pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi di seluruh daerah di tanah air. Kemudian, perlu ada audit untuk pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Pemerintah mesti fokus pada pemenuhan pendidikan dasar 9 tahun yang sepenuhnya dibiayai oleh negara. SPP dan buku ditanggung oleh pemerintah yang dialokasikan pada APBN dan APBD. Sebagai contoh, pembagian anggaran dapat dilakukan sebagai berikut: APBN 60 persen, APBD provinsi 15 persen, dan APBD kota/kabupaten 25 persen. Dengan demikian, akan tergambar bahwa amanat konstitusi bisa terlaksana. Setiap warga negara harus bisa menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun dan negara menyediakan pembiayaannya.
Untuk mengatasi maraknya pungutan-pungutan, perlu dikeluarkan inpres yang melarang pungutan pada pendidikan dasar 9 tahun. Hal ini karena sekolah masuk dalam wewenang kepala daerah yang berada di bawah koordinasi Mendagri. Daripada mengeluarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) Mendiknas dan Mendagri, inpres lebih mempunyai kekuatan atau bahkan PP (peraturan pemerintah)
Dengan demikian, negara tidak mengabaikan konstitusi dengan memenuhi kewajiban menyediakan pendidikan dasar 9 tahun untuk seluruh warga negara, tanpa dipungut biaya dan tidak ada lagi keluhan semakin besarnya anggaran pendidikan, tetapi justru semakin meningkat pula biaya yang dibebankan kepada masyarakat. Inilah paradoks yang harus dihentikan untuk solusi negeri. Hal itu agar tidak ada lagi rintihan Basyir-Basyir berikutnya.
Mohamad Basyir, anak berusia 11 tahun, telah memahami arti pentingnya pendidikan. Arti penting pendidikan bagaikan kehormatan yang harus dijaganya. Namun ironisnya, Mohamad Basyir memahami menjaga kehormatan pendidikan dengan cara nekat, yaitu mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di tempat penampungan pedagang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu 14 Juli 2010.
Basyir nekat bunuh diri karena diduga malu setelah keinginannya untuk sekolah lagi tidak terpenuhi. Orang tua Basyir yang hanya pedagang kecil di pasar tak sanggup membiayai sekolah anaknya itu.
Peristiwa Basyir mengundang pertanyaan pada kita semua, setelah anggaran pendidikan terus meningkat signifikan. Masih banyak saja anak-anak Indonesia yang tidak terurus pendidikannya. Tak terkecuali Basyir, si kecil yang penuh cita-cita. Lalu, di mana tanggung jawab negara saat ini, yang membiarkan anak-anak negerinya terkulai untuk mencari arti hidup?
Amanat Konstitusi
Semakin tinggi anggaran pendidikan yang dialokasikan pada APBN dan APBD sesuai amanat UUD NRI 1945 sekurang-kurangnya 20 persen, masyarakat belum terlalu merasakan manfaatnya secara nyata karena biaya pendidikan yang dibebankan kepada masyarakat juga terus meningkat dari waktu ke waktu.
Peningkatan biaya pendidikan terus merebak, baik berupa SPP (terutama sekolah swasta di tingkat SD-SMP) maupun berupa pungutan-pungutan dengan nama sumbangan wajib, lembar LKS, uang gedung, dan buku di sekolah negeri dan swasta.
Karena belum terpenuhi dalam bentuk BOS (biaya operasional pendidikan), sekolah yang berkualifikasi tinggi, yang konsisten tidak memungut biaya pendidikan akan lebih prihatin karena pas-pasan kesejahteraan guru dan sarana prasarananya. Seharusnya, dana BOS diimbangi oleh alokasi dana pendidikan APBD provinsi dan kabupaten/kota seperti amanat konstitusi tersebut.
Hal itu terjadi karena anggaran pendidikan di Indonesia yang mencapai 20 persen tidak tepat sasaran dalam penggunaannya. Apalagi anggaran yang besar tersebut masih sering terjadi kebocoran, alokasi yang tidak tepat, mark up, serta dibelanjakan tidak sesuai peruntukan, bahkan beasiswa untuk kalangan tidak mampu sulit diakses oleh masyarakat miskin.
Seharusnya, komponen BOS yang mesti dipenuhi terlebih dahulu adalah kebutuhan dasar (basic needs), seperti operasional sekolah yang meliputi; buku dan alat tulis. Selanjutnya, biaya untuk operasional dan perawatan gedung sekolah serta tambahan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan. Kemudian, pada kebutuhan spesifik kaum miskin, seperti dana transportasi ke sekolah untuk siswa miskin.
Tanggung Jawab Negara
Pasal 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) menyatakan, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan." Dan, Ayat (2): "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya." Amanat konstitusi ini dikukuhkan lagi dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang disahkan DPR 11 Juni 2003 dan ditandatangani presiden pada 8 Juli 2003.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN), antara lain, disebutkan: Pertama, "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu" (Pasal 5 Ayat [1]). Kedua, "Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar" (Pasal 6 Ayat [1]).
Ketiga, "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi" (Pasal 11 Ayat [1]). Keempat, "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun" (Pasal 11 Ayat [2]).
Perintah Konstitusi dan UU ini sesuai dengan Konvensi Internasional Bidang Pendidikan yang dilaksanakan di Dakkar, Senegal, Afrika pada 2000. Konvensi menyebutkan, semua negara diwajibkan memberikan pendidikan dasar yang bermutu secara gratis kepada semua warga negaranya.
Tanpa komitmen yang kuat, peran negara yang seharusnya sebagai pelayan publik dengan menyediakan akses bagi kebutuhan publik semakin menciut. Makin menipisnya akses pendidikan, khususnya di kalangan miskin, menjadi ironi seiring dengan anggaran pendidikan yang telah mencapai 20 persen. Padahal, banyak negara berkembang lain, seperti Turki, Brasil, dan Meksiko bahkan sudah menyediakan pendidikan gratis sampai tingkat perguruan tinggi.
Solusi
Menghadapi persoalan tersebut, harus dibuat perencanaan yang lebih komprehensif dengan menentukan unit biaya untuk semua tingkat pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi di seluruh daerah di tanah air. Kemudian, perlu ada audit untuk pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Pemerintah mesti fokus pada pemenuhan pendidikan dasar 9 tahun yang sepenuhnya dibiayai oleh negara. SPP dan buku ditanggung oleh pemerintah yang dialokasikan pada APBN dan APBD. Sebagai contoh, pembagian anggaran dapat dilakukan sebagai berikut: APBN 60 persen, APBD provinsi 15 persen, dan APBD kota/kabupaten 25 persen. Dengan demikian, akan tergambar bahwa amanat konstitusi bisa terlaksana. Setiap warga negara harus bisa menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun dan negara menyediakan pembiayaannya.
Untuk mengatasi maraknya pungutan-pungutan, perlu dikeluarkan inpres yang melarang pungutan pada pendidikan dasar 9 tahun. Hal ini karena sekolah masuk dalam wewenang kepala daerah yang berada di bawah koordinasi Mendagri. Daripada mengeluarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) Mendiknas dan Mendagri, inpres lebih mempunyai kekuatan atau bahkan PP (peraturan pemerintah)
Dengan demikian, negara tidak mengabaikan konstitusi dengan memenuhi kewajiban menyediakan pendidikan dasar 9 tahun untuk seluruh warga negara, tanpa dipungut biaya dan tidak ada lagi keluhan semakin besarnya anggaran pendidikan, tetapi justru semakin meningkat pula biaya yang dibebankan kepada masyarakat. Inilah paradoks yang harus dihentikan untuk solusi negeri. Hal itu agar tidak ada lagi rintihan Basyir-Basyir berikutnya.
[URL=http://www.giantbomb.com/profile/dddttd/blog/#] volkswagen stick figures
BalasHapus[/URL]