Thomas Koten
Direktur Social Development Center
Direktur Social Development Center
Peringatan kemerdekaan yang ke-65 bagi bangsa Indonesia, hakikatnya menjadi momentum istimewa untuk merenung dan melakukan penilaian ulang secara jitu atas pencapaian bangsa. Bersamaan dengan itu, pertanyaan pun teradopsi di tengah karut-marut persoalan politik, ekonomi, dan hukum, yang tidak tahu ujung penyelesaiannya ini. Belum lagi diperparah oleh pesoalan yang paling serius, yaitu terkait sangat merosotnya moralitas dan hilangnya tanggung jawab para elite negeri.
Celakanya, di saat bangsa-bangsa lain bersama para pemimpinnya sedang sibuk merancang kiat dan strategi kebijakan ekonomi dan politik yang jitu, untuk menyongsong perdagangan bebas dalam rangkah memajukan ekonomi negerinya dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, para elite negeri kita sibuk memburu rente ekonomi, menggendutkan rekening bank, dan menambah pundi-pundi kekayaan pribadi. Pemimpin tertinggi negara yang sangat diharapkan dapat membawa bahtera bangsa ini ke tujuan cita-cita kemerdekaan, ternyata tidak memiliki rancangan yang jelas dan strategis serta tak pernah muncul 'sabda kenabian' yang dibarengi keputusan-keputusan yang bisa memotivasi bangkitnya negara.
Tragisnya lagi, janji-janji nasionalisme ekonomi yang begitu sedap terdengar dalam setiap kali kampanye pemilu, kini benar-benar telah lenyap lantaran para pemimpin kita asyik mengumbar citra demi memenuhi tuntutan pragmatisme kekuasaan. Padahal, bahtera bangsa ini sedang diimpit kekuatan neoliberalisme yang begitu ganas, yang telah menggiring bangsa ini menjadi 'kuli bagi bangsa lain.
Jeratan neoliberalisme
Satu hal yang kini telah menjadi sebuah fenomena mengerikan, yang sedang menyergap bangsa ini, yakni mencengkeramnya taring neoliberalisme terhadap perjalanan ekonomi nasional. Ketika di zaman sebelum kemerdekaan, kita dijajah oleh bangsa asing yang menjajah dan memaksa bangsa Indonesia bekerja keras dan hasil-hasilnya dikuras lalu dibawa ke negeri penjajah, kini di zaman kemerdekaan, Indonesia kembali dijajah oleh bangsa asing dan bangsa sendiri, dengan cara yang jika ditakar, jauh lebih kejam. Atas nama investasi, pinjaman atau utang, kekayaan bangsa ini disedot oleh banyak negara kapitalis. Dengan iming-iming investasi, kontrak-kontrak karya pertambangan dan sumber daya alam lainnya tak henti-hentinya disedot dengan serakahnya oleh negara kapitalis, dan dibantu para tengkulak besar negeri sendiri yang sudah dirasuk kapitalisme itu.
Ironisnya, ketika banyak negara melakukan negosiasi ulang kontrak karya pertambangan dan selektif dalam menjaring dana investasi dan menahan diri dalam melakukan pinjaman, pemerintah dan DPR kita justru terus terlena oleh nikmatnya kursi empuk kekuasaan dengan terus membiarkan skema kontrak yang tidak adil dan kian memiskinkan rakyat bangsa sendiri. Tidak tampak pemihakan serius hampir segenap elite para penyelenggara negara terhadap nasib bangsa dan masa depan negeri ini.
Negara dan bangsa ini pun semakin berada dalam cengkeraman keperkasaan asing keganasan neoliberalisme, yang berjalan di atas doktrin dasarnya, yaitu pemujaan terhadap pasar, yang belakangan ini telah mengorbankan banyak negara. Ingat bahwa dalam arus neoliberalisme, bukan hanya produksi, distribusi, modal dan konsumsi, dan seluruh denyut ekonomi yang tunduk pada pasar, melainkan seluruh kehidupan, termasuk mentalitas masyarakat suatu bangsa. Apalagi, salah satu misi neoliberalisme adalah melucuti peran negara yang diindoktrinasi sebagai biang distorsi dan penyebab KKN. Dengan keajaiban invisible hand-nya Adam Smith, mekanisme pasar akan menciptakan kemakmuran bagi semua pihak. Ternyata, janji-janji itu bohong besar. Fakta-fakta kerusakan akibat globalisasi ekonomi yang disemangati embusan angin neoliberalisme semakin mencemaskan semua negara. Apalagi, banyak negara merdeka, seperti Indonesia, semakin menganut prinsip-prinsip liberal yang menjunjung tinggi kebebasan individu, yang tak henti-hentinya mendominasi diskursus pembangunan internasional.
Lepas dari neoliberalisme
Jika dicermati, sudah tidak terhitung lagi berapa banyak negara yang telah jadi korban neoliberalisme, termasuk Indonesia, meskipun para pemimpin kita menyangkalnya. Contoh, akibat deregulasi keuangan yang kebablasan tahun 1980-an dan pembangunan yang dibiayai utang, membuat fundamental ekonomi kita sangat rapuh. Tatkala diguncang krisis nilai tukar, ekonomi ambruk dan krisis ekonomi berubah menjadi krisis multidimensi. Masuknya IMF, malah memperbesar utang domestik dan luar negeri. Apa jadinya, Indonesia pun terseok-seok dan semakin tak berdaya hingga kini.
Adakah harapan bebas-merdeka dari cengkeraman neoliberalisme yang sudah begitu kuat terhadap republik ini? Jika pertanyaan ini tidak dijawab, sia-sialah kita memperingati kemerdekaan bangsa ini, dan tak ada gunanya bangsa ini merdeka karena kemerdekaan kita hanya lepas dari mulut harimau dan masuk ke mulut buaya. Karena itu, Indonesia di usianya yang ke-65 ini hendaknya memberanikan diri untuk bebas dari cengkeraman neoliberalisme.
Pertama, negara harus terus memperkuat peran publik dan atau negara merdeka yang demokratis. Kedua, pemerintah harus berani membatasi pasar yang semakin menggerogoti otoritas negara dan masyarakat. Ketiga, negara harus memaksimalkan produktivitas dengan meningkatkan sumber daya manusia serta menanamkan semangat tanggung jawab dan cinta tanah air kepada segenap masyarakat, terutama kepada pengusaha-pengusaha yang sudah digerogoti semangat kapitalisme-neoliberalisme. Keempat, negara harus menaikkan kredibilitasnya dengan berusaha terus untuk bebas dari berbagai cengkeraman korporasi global, yang menjadi senjata ampuh neoliberalisme untuk mematikan peran negara.
Semua itulah makna peringatan kemerdekaan kita saat ini, di tengah berkumandangnya lagu Indonesia Raya, pengibaran Sang Saka Merah Putih, yang tampak semarak di seluruh pelosok negeri, tetapi sebenarnya tanpa gairah dan 'gereget'.
Celakanya, di saat bangsa-bangsa lain bersama para pemimpinnya sedang sibuk merancang kiat dan strategi kebijakan ekonomi dan politik yang jitu, untuk menyongsong perdagangan bebas dalam rangkah memajukan ekonomi negerinya dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, para elite negeri kita sibuk memburu rente ekonomi, menggendutkan rekening bank, dan menambah pundi-pundi kekayaan pribadi. Pemimpin tertinggi negara yang sangat diharapkan dapat membawa bahtera bangsa ini ke tujuan cita-cita kemerdekaan, ternyata tidak memiliki rancangan yang jelas dan strategis serta tak pernah muncul 'sabda kenabian' yang dibarengi keputusan-keputusan yang bisa memotivasi bangkitnya negara.
Tragisnya lagi, janji-janji nasionalisme ekonomi yang begitu sedap terdengar dalam setiap kali kampanye pemilu, kini benar-benar telah lenyap lantaran para pemimpin kita asyik mengumbar citra demi memenuhi tuntutan pragmatisme kekuasaan. Padahal, bahtera bangsa ini sedang diimpit kekuatan neoliberalisme yang begitu ganas, yang telah menggiring bangsa ini menjadi 'kuli bagi bangsa lain.
Jeratan neoliberalisme
Satu hal yang kini telah menjadi sebuah fenomena mengerikan, yang sedang menyergap bangsa ini, yakni mencengkeramnya taring neoliberalisme terhadap perjalanan ekonomi nasional. Ketika di zaman sebelum kemerdekaan, kita dijajah oleh bangsa asing yang menjajah dan memaksa bangsa Indonesia bekerja keras dan hasil-hasilnya dikuras lalu dibawa ke negeri penjajah, kini di zaman kemerdekaan, Indonesia kembali dijajah oleh bangsa asing dan bangsa sendiri, dengan cara yang jika ditakar, jauh lebih kejam. Atas nama investasi, pinjaman atau utang, kekayaan bangsa ini disedot oleh banyak negara kapitalis. Dengan iming-iming investasi, kontrak-kontrak karya pertambangan dan sumber daya alam lainnya tak henti-hentinya disedot dengan serakahnya oleh negara kapitalis, dan dibantu para tengkulak besar negeri sendiri yang sudah dirasuk kapitalisme itu.
Ironisnya, ketika banyak negara melakukan negosiasi ulang kontrak karya pertambangan dan selektif dalam menjaring dana investasi dan menahan diri dalam melakukan pinjaman, pemerintah dan DPR kita justru terus terlena oleh nikmatnya kursi empuk kekuasaan dengan terus membiarkan skema kontrak yang tidak adil dan kian memiskinkan rakyat bangsa sendiri. Tidak tampak pemihakan serius hampir segenap elite para penyelenggara negara terhadap nasib bangsa dan masa depan negeri ini.
Negara dan bangsa ini pun semakin berada dalam cengkeraman keperkasaan asing keganasan neoliberalisme, yang berjalan di atas doktrin dasarnya, yaitu pemujaan terhadap pasar, yang belakangan ini telah mengorbankan banyak negara. Ingat bahwa dalam arus neoliberalisme, bukan hanya produksi, distribusi, modal dan konsumsi, dan seluruh denyut ekonomi yang tunduk pada pasar, melainkan seluruh kehidupan, termasuk mentalitas masyarakat suatu bangsa. Apalagi, salah satu misi neoliberalisme adalah melucuti peran negara yang diindoktrinasi sebagai biang distorsi dan penyebab KKN. Dengan keajaiban invisible hand-nya Adam Smith, mekanisme pasar akan menciptakan kemakmuran bagi semua pihak. Ternyata, janji-janji itu bohong besar. Fakta-fakta kerusakan akibat globalisasi ekonomi yang disemangati embusan angin neoliberalisme semakin mencemaskan semua negara. Apalagi, banyak negara merdeka, seperti Indonesia, semakin menganut prinsip-prinsip liberal yang menjunjung tinggi kebebasan individu, yang tak henti-hentinya mendominasi diskursus pembangunan internasional.
Lepas dari neoliberalisme
Jika dicermati, sudah tidak terhitung lagi berapa banyak negara yang telah jadi korban neoliberalisme, termasuk Indonesia, meskipun para pemimpin kita menyangkalnya. Contoh, akibat deregulasi keuangan yang kebablasan tahun 1980-an dan pembangunan yang dibiayai utang, membuat fundamental ekonomi kita sangat rapuh. Tatkala diguncang krisis nilai tukar, ekonomi ambruk dan krisis ekonomi berubah menjadi krisis multidimensi. Masuknya IMF, malah memperbesar utang domestik dan luar negeri. Apa jadinya, Indonesia pun terseok-seok dan semakin tak berdaya hingga kini.
Adakah harapan bebas-merdeka dari cengkeraman neoliberalisme yang sudah begitu kuat terhadap republik ini? Jika pertanyaan ini tidak dijawab, sia-sialah kita memperingati kemerdekaan bangsa ini, dan tak ada gunanya bangsa ini merdeka karena kemerdekaan kita hanya lepas dari mulut harimau dan masuk ke mulut buaya. Karena itu, Indonesia di usianya yang ke-65 ini hendaknya memberanikan diri untuk bebas dari cengkeraman neoliberalisme.
Pertama, negara harus terus memperkuat peran publik dan atau negara merdeka yang demokratis. Kedua, pemerintah harus berani membatasi pasar yang semakin menggerogoti otoritas negara dan masyarakat. Ketiga, negara harus memaksimalkan produktivitas dengan meningkatkan sumber daya manusia serta menanamkan semangat tanggung jawab dan cinta tanah air kepada segenap masyarakat, terutama kepada pengusaha-pengusaha yang sudah digerogoti semangat kapitalisme-neoliberalisme. Keempat, negara harus menaikkan kredibilitasnya dengan berusaha terus untuk bebas dari berbagai cengkeraman korporasi global, yang menjadi senjata ampuh neoliberalisme untuk mematikan peran negara.
Semua itulah makna peringatan kemerdekaan kita saat ini, di tengah berkumandangnya lagu Indonesia Raya, pengibaran Sang Saka Merah Putih, yang tampak semarak di seluruh pelosok negeri, tetapi sebenarnya tanpa gairah dan 'gereget'.
Komentar
Posting Komentar