Langsung ke konten utama

: Membumikan Budaya Sekolah

Apa yang bisa dan mungkin dilakukan oleh seorang kepala sekolah baru dan minus pengalaman dalam mengelola sekolah? Pertama, saya beruntung karena dilatih oleh para pendidik yang memahami bagaimana sekolah harus dikelola. Kedua, sekolah tempat di mana saya mengabdi dalam 4 tahun terakhir ini, yaitu Sekolah Sukma Bangsa, merupakan sekolah yang memiliki visi dan misi yang sangat mulia, yaitu menciptakan lingkungan pendidikan yang positif bagi semua sivitas akademika sekolah. Ketiga, sebagai konsekuensi dari visi-misi sekolah adalah tumbuhnya common believe bahwa sekolah merupakan sebuah tempat belajar bagi siapa saja, a school that learns. Cuplikan kalimat dari buku Peter Senge (2004) inilah yang mendasari hampir semua rencana perilaku dan pembelajaran yang dilakukan di sekolah kami. 

Sekolah yang selalu belajar adalah citra diri yang dilekatkan secara sistemik dan terencana oleh pengelola Yayasan Sukma. Kesadaran tentang citra diri sekolah ini muncul bersamaan dengan kesadaran bahwa Sekolah Sukma memang bukan sekolah biasa, karena hampir tak ada benchmark yang mendekati karakter sekolah ini. Beberapa ciri yang sejak awal bertugas saya temukan di dalamnya adalah: (1) sekolah ini dibangun dengan semangat filantropi masyarakat dunia karena musibah tsunami; (2) secara fisik sekolah ini dapat dikatakan memenuhi semua standar untuk proses pembelajaran karena fasilitasnya sangat memadai; (3) guru dilatih secara intensif selama 3 bulan penuh sebelum sekolah beroperasi; dan (4) sistem rekrutmen siswanya yang ajaib, yaitu tanpa adanya tes akademik tertentu terhadap siswa karena siswa yang masuk sekolah ini diseleksi melalui penelusuran tingkat kemiskinan dan kebodohan sang anak. Semakin miskin dia --baik karena korban gempa, konflik, yatim dan fakir-- maka semakin besar peluang mereka untuk lolos dan memperoleh beasiswa. 

Dengan kondisi seperti itu, bisa dibayangkan kemudian akibat atau konsekuensi yang mengikutinya. Sementara guru dilatih dengan standar kurikulum yang memadai, namun basis input sekolah ini sangat anomali dari sisi kurikulum. Pemahaman siswa secara akademis sangat rendah, sementara karakter anak yang amat beragam membuat setiap komponen di sekolah harus berpikir keras mengatasi problem pembelajaran yang berlangsung. Dalam ingatan saya ketika itu, baik siswa maupun guru terlihat gagap dan hampir tak berdaya mengatasi masalah masing-masing. Tetapi karena sekolah ini didesain oleh para pendidik yang memiliki kesadaran untuk menghargai ragam talenta siswa, maka pekerjaan berat terasa menantang karena setiap guru dan siswa diberi keleluasaan untuk saling menghargai (respect each other). Prinsip inilah yang kemudian menjadi fondasi kami dalam membumikan budaya sekolah, sebuah usaha untuk membangun, menumbuhkembangkan kebesaran sekolah secara bersama. Beberapa contoh kecil budaya sekolah di bawah ini saya tulis berdasarkan pengalaman saya sebagai Kepala Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe sejak tahun pertama. 

Pendidikan budaya di sekolah

Saya sadar bahwa lembaga pendidikan tak bisa begitu saja mencetak pribadi sukses dan mulia. Ada banyak faktor yang memengaruhi pembentukan karakter siswa. Paling tidak ada dua hal yang membentuk karakter siswa. Pertama adalah kondisi SDM sekolah yang meliputi kepala sekolah, tenaga pendidik, tenaga administrasi, peserta didik, hingga komite sekolah. Kedua, budaya sekolah (school culture). Budaya sekolah ini amat dipengaruhi oleh sistem manajemen, roda organisasi, hingga fasilitas sekolah yang mendukung. Keduanya harus dikombinasikan sehingga menjadi semacam sistem yang berlaku dan dijalankan oleh sekolah. 

Dalam pandangan Peterson (1999), school culture is the behind-the-scenes context that reflects the values, beliefs, norms, traditions, and rituals that build up over time as people in a school work together. Peterson juga menambahkan bahwa budaya sekolah tidak hanya berpengaruh terhadap semua tindakan sivitas akademika sekolah, tetapi juga memengaruhi jiwa dan semangat para guru dan siswanya (influences not only the actions of the school population, but also its motivations and spirit). Budaya sekolah adalah konteks di belakang layar sebuah sekolah yang menunjukkan nilai, norma, tradisi, bahkan ritual yang telah dibangun dalam waktu yang lama oleh semua komunitas sekolah. Dalam konsep sekolah efektif (effective school), budaya sekolah sering disebut sebagai suasana sekolah (school climate), dimaknai sebagai bagaimana warga sekolah berpikir dan bertindak. Budaya sekolah inilah yang menjadi roh bagi terciptanya iklim sekolah yang kondusif. 

Dua hal di atas pula yang sedang dibentuk oleh Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe. Sebagai salah satu sekolah yang menyeimbangkan pengetahuan dan akhlak mulia, Sekolah Sukma Bangsa terus mencoba untuk menjaga dan mempertahankan budaya sekolah. Harapannya, budaya sekolah ini juga menjadi salah satu keunggulan Sekolah Sukma Bangsa. Sebagai sekolah yang awalnya didedikasikan untuk korban tsunami, budaya sekolah mutlak diperlukan karena di dalamnya terdapat banyak perbedaan karena latar belakang keluarga yang berbeda. Apalagi, sekolah ini diluaskan jangkauannya sehingga menjadi sekolah umum. 

Dengan melihat semua aspek itu, mulailah kita memperhatikan apa yang bisa dilakukan oleh sekolah untuk membentuk karakter siswa. Kita tidak mau lagi mengulang kesalahan-kesalahan pendidikan masa lalu yang mendidik dengan kekerasan atau disiplin tapi otoriter, sehingga yang terbentuk adalah suasana yang intimidatif, penuh tekanan, dan tak adanya nalar kritis dalam siswa. Pengalaman masa lalu, khususnya di Aceh, yang sangat traumatik seakan pendidik/guru lupa bahwa belajar itu perlu situasi yang menyenangkan dan penuh keakraban. Bentuk kesalahan lain dalam dunia pendidikan kita adalah semakin menurunnya nilai kejujuran karena masih suburnya praktik menyontek (cheating). 

Belajar dari hal-hal tersebut, Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe berusaha menggagas sebuah patron yang membuat semua stakeholder sekolah merasa ada dalam satu nuansa yang sama. Budaya sekolah menjadi salah satu cara yang tepat untuk menentukan karakteristik sebuah kekuatan karena dengan pendekatan budaya, seluruh stakeholder sekolah akan berusaha melakukan perubahan. Dengan budaya sekolah pula, seluruh stakeholder sekolah diajarkan bukan hanya bagaimana makna sebuah nilai (value), melainkan juga meletakkan nilai ke dalam sebuah tindakan sehingga menjadi karakter yang berulang dan berkembang (virtue). 

Di Sekolah Sukma, budaya sekolah kami singkat dengan 5S (senyum, salam, sapa, sopan, dan santun) dan 3N (no Smoking, no cheating, dan no bullying). Melalui keteladanan guru, sikap mendidik serta mengajar dengan hati akan menimbulkan pengaruh positif terhadap siswa. Supaya stakeholder sekolah mengetahui apa yang menjadi budaya sekolah Sukma, ada tahapan awal yang dilakukan yaitu untuk guru adanya pelatihan (training) tentang kesukmaan. Training ini dimulai dari pengenalan Sukma sampai budaya sekolah. Sedangkan untuk siswa, tahapan sosialisasi dilakukan melalui masa orientasi siswa (MOS) dan dalam kegiatan rutin dan nonrutin sekolah. 

Budaya Sekolah Sukma Bangsa yang kami aplikasikan dalam kegiatan-kegiatan sekolah sebagai program unggulan budaya senyum, salam dan sapa ketika bertemu dengan guru dan orang tua siswa dan bahkan dengan siswa sendiri (biasanya hanya dengan senyum dan sapa saja), dengan saling menebar salam, senyum dan sapa diharapkan timbulnya keakraban antara siswa dan guru ataupun sesama siswa. Salah satu kebanggaan dan keberhasilan terbesar kami dalam merealisasikan budaya sekolah ini adalah diakuinya sekolah kami sebagai sekolah jujur. Semua bermula ketika kami--untuk pertama kalinya--dua tahun lalu mengikuti proses ujian nasional. 

Sadar bahwa kemampuan akademis anak-anak kami masih kurang, prediksi kami ketika itu yang akan lulus UN sekitar 20% saja dari total 117 siswa yang akan ikut UN tingkat SMA. Ketika proses UN berlangsung, meski diawasi oleh guru dari sekolah lain, anak-anak kami teguh dalam memegang prinsip untuk tidak menyontek (no cheating). Ketika UN diumumkan, kami bangga karena tingkat kelulusan ternyata sedikit lebih baik daripada yang kami prediksikan sebelumnya, yaitu 32%. Tetapi bagi dinas pendidikan setempat dan masyarakat yang lebih berorientasi pada hasil (end result), sekolah kami justru menjadi bahan cemooh dan preseden buruk bagi pengelolaan sekolah ke depan. Seiring dengan berjalannya waktu, meski secara faktual hanya 32% yang lulus UN, siswa-siswa kami yang kemudian diterima di perguruan tinggi mencapai sekitar 72% dan lebih dari separuhnya adalah penerima beasiswa yang tersebar di UGM, ITS, USU, Paramadina, UIN Jakarta, Unsyiah, IAIN Ar-Raniry, Malikus Saleh, dan universitas lainnya. Sebuah hasil yang teramat membanggakan dan membuat semua mata terkesiap melihat pencapaian anak-anak. Saat ini jika ada orang bertanya tentang Sekolah Sukma Bangsa, jawaban masyarakat adalah, "Oh, sekolah yang jujur itu ya...." Alhamdulillah, being different is a miracle. 


Oleh Sarlivanti Kepala SMA Sukma Bangsa Lhokseumawe, Aceh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah-sitilah dalam bidang Seni dan Budaya

Istilah-sitilah dalam bidang Seni dan Budaya Aesteties : bersifat indah, karya seni yang indah, nilai-nilai keindahan. Aliran : ciri ekspresi personal yang khas dari seniman dalam menyajikan karyanya – isi karya (makna). Alur : rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama dan menggerakkan jalan cerita melalui kerumitan cerita kearah klimaks dan penyelesaian. Antagonis : tokoh pertentangan, lawan tokoh protagonist. Anti Tips Casting : pemilihan pemain berlawanan dengan sifat asli pemain. Art Seni : kepandaian, sesuatu yang indah, kagunan, anggitan. Atmos : suasana perasaan yang bersifat imajinatif dalam naskah drama yang diciptakan pengarangnya. Atau suasana berkarakter yang tercipta dalam pergelaran drama. Babak : bagian besar dari suatu drama atau lakon (terdiri atas beberapa adegan). Balance : keseimbangan unsur rupa. Basics design : dasar-dasar desain, nirmana. Basics visual : dasar-dasar rupa, rupa dasar. Blocking : teknik pengaturan langkah-

Istilah-istilah dalam Bidang Software (Perangkat Lunak)

Abstraction Merupakan prinsip penyederhanaan dari sesuatu yang kompleks dengan cara memodelkan kelas sesuai dengan masalahnya Algoritma Urutan langkah-langkah logis penyelesaian masalah yang disusun secara sistematis  Array Struktur data yang menyimpan sekumpulan elemen yang bertipe sama Atribut Karakteristik atau ciri yang membedakan antara entitas satu dengan entitas yang lainnya Authentication Proses memeriksa keabsahan seseorang sebagai user (pengguna) pada suatu system (misalnya pada DBMS) Basic Input/Output System (BIOS) Kode-kode program yang pertama kali dijalankan ketika komputer dinyalakan (booting) Basis data (database) Kumpulan dari data yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tersimpan dalam perangkat keras komputer dan digunakan perangkat lunak untuk memanipulasinya Command Line Interface (CLI) Antar muka pengguna dengan model perintah-perintah teks Compiler Penerjemah bahasa pemrograman tingkat tinggi ke bahasa mesin

Istilah dalam bidang kuliner - Masakan

R Ready plate : siap diracik dipiring Robert sauce : merupakan turunan saus demiglace yang ditambah dengan bawang Bombay, anggur putih, mustard, merica dan cuka Rolled : Potongan tipis dan digulung pada proses membuat Rolled Beef Rosemary : Dipakai untuk membumbui pada waktu membuat Roast dari Beef, poultry Roux : Kombinasi flour (terigu) dan butter sebagai pengental soup atau sauce. Bila prosesnya dengan panas disebut Roux. Jika dingin istilahnya burre manie Rub : Mengoleskan sesuatu bahan ke atas permukaan hidangan agar memperoleh warna mengkilat S Salad : Hidangan yang berasal dari bahan makanan yang segar dengan sauce yang berasa asam Salad dressing : Saus yang mendampingi hidangan salad Salamander : Oven dengan menggunakan api atas untuk memberi warna coklat pada permukaan hidangan Sasaran pemasaran : gambaran keinginan perusahaan di masa depan. Sasaran pemasaran dapat dibuat jangka pendek atau jangka panjang. Sauce : Caian semi liquid yang digunakan sebagai pengaro