Perpustakaan, sebagaimana lazimnya diakui, adalah 'jantung' atau 'roh' pendidikan. Ia adalah pusat informasi, pusat belajar, pusat kajian, dan pusat penyebaran informasi. Oleh karena itu, perannya sangat strategis dalam menunjang keberhasilan studi dalam jenjang apa pun--mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Perpustakaan yang lengkap dan baik akan menyediakan segala sumber informasi terpilih yang sesuai dengan kebutuhan pemakainya. Dalam perpustakaan yang terorganisasi dengan baik, informasi apa pun akan ditemukan secara mudah, cepat, dan tepat karena adanya sistem penyimpan dan penemuan kembali.
Adanya tuntutan yang semakin meningkat dalam perolehan informasi dan arus globalisasi yang menyebabkan melimpahnya informasi dalam pelbagai jenis maupun bentuk media serta tersedianya perangkat yang mampu menunjang kegiatan yang sulit dilakukan di masa-masa lalu jelas memberikan peluang besar bagi perpustakaan dalam hal ini perpustakaan sekolah untuk membenahi diri dalam pola layanan, kebijakan koleksi, pengadaan, dan lainnya.
Realitas perpustakaan
Nasib perpustakaan di Indonesia memang sejak dulu terbengkalai. Bukan hanya perpustakaan sekolah yang kondisinya menyedihkan, melainkan juga perpustakaan-perpustakaan lainnya juga mengalami hal serupa. Dari sekitar 1.000 perpustakaan khusus yang ada di Indonesia, misalnya, baru 10% dari jumlah itu yang dapat dikatakan baik. Bahkan, dana yang dialokasikan pemerintah untuk anggaran perpustakaan nasional juga sangat kurang memadai. Akibatnya, perpustakaan nasional tidak bisa memberikan layanan yang prima kepada masyarakat di berbagai daerah.
Kondisi itu semakin runyam dengan rendahnya budaya baca di indonesia. meskipun data yang dikeluarkan UNESCO pada 1993 mencatat 84% penduduk Indonesia sudah melek huruf, jauh di atas rata-rata negara berkembang yang cuma 69%, angka kunjungan ke berbagai perpustakaan terlihat tidak sejalan dengannya. Pemimpin Perpustakaan Nasional pernah mengatakan bahwa cuma 1% penduduk Indonesia yang mau mengunjungi perpustakaan. Jika dikaitkan dengan penerbitan buku, hanya ada 12 judul baru setahun untuk setiap juta penduduk Indonesia rata-rata negara berkembang 55 judul, dan negara maju 513 judul baru setahun untuk setiap juta penduduk. Demikian pula, jumlah tiras surat kabar hanya 2,8% dari penduduk Indonesia standar UNESCO 10% (negara maju di atas 30%). Dengan demikian, kemelekhurufan masyarakat Indonesia belumlah fungsional atau tidak digunakan untuk menyerap dan mereproduksi informasi tertulis.
Dengan berbagai tantangan dan kenyataan yang ada, perpustakaan sekolah perlu merumuskan kembali jati dirinya sebagai perpustakaan yang baik. Sebagai perpustakaan yang baik, perpustakaan sekolah diharapkan dapat menyediakan segala sumber informasi terpilih yang sesuai dengan kebutuhan pemakainya. Konsep kepemilikan informasi, yang tadinya ditekankan pada penyediaan gedung serta koleksi selengkap mungkin, tidak lagi memadai. Padahal, informasi memang tersedia, terus berkembang, dan dibutuhkan bagi pembentukan masyarakat belajar. Di sinilah perpustakaan dituntut menjalankan peranannya sebagai mediator informasi.
Perpustakaan digital
Solusi ideal untuk berbagai permasalahan tersebut adalah mentransformasikan perpustakaan tradisional sekolah menjadi perpustakaan digital. Internet menawarkan alternatif baru dalam penyediaan informasi dan sekaligus penyebarluasan informasi. Jika sebelumnya, informasi berbasis cetak merupakan primadona perpustakaan tradisional, sekarang tersedia format baru dalam bentuk digital melalui web. Koleksi bahan digital yang ditransmisikan secara elektronik, yang disebut perpustakaan digital, keberadaannya semakin penting dalam pemenuhan kebutuhan informasi pengguna.
Di sisi lain, standar dan teknologi internet sebagai media penyedia bahan digital akan terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Kalangan tertentu pengamat perpustakaan digital menyebutkan ada empat hal yang akan membuat internet nantinya semakin dominan sebagai bisnis. Pertama, infrastruktur internet akan terus diperkuat dan ditingkatkan untuk menyediakan tulang punggung yang berkapasitas tinggi dan aman. Kedua, internet akan menghubungkan dan mengintegrasikan sistem noninternet seperti pertukaran data elektronik dan pemrosesan transaksi. Ketiga, internet akan memungkinkan pengguna mengakses informasi dan pelayanan dari mana saja serta kapan saja dengan menggunakan peralatan pilihan mereka. Keempat, dengan terjadinya ledakan informasi yang tersedia melalui internet, akan tersedia berbagai pendekatan baru untuk menemukan dan mengindeks informasi (Robert B Palmer, 1997).
Sekalipun memerlukan investasi yang cukup besar untuk membuat perpustakaan digital, yang tentunya merupakan kendala tersendiri di masa krisis ini, dalam operasinya perpustakaan ini secara ekonomis lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan perpustakaan tradisional. Ada empat alasan mengapa jenis perpustakaan digital bisa lebih ekonomis. Pertama, institusi dapat berbagi koleksi digital. Kedua, koleksi digital dapat mengurangi kebutuhan terhadap bahan cetak pada tingkat lokal. Ketiga, penggunaannya akan meningkatkan akses elektronik. Dan keempat, nilai jangka panjang koleksi digital akan mengurangi biaya berkaitan dengan pemeliharaan dan penyampaiannya (Stephen Chapman & Anne R Kenney, 1996).
Namun, dengan segala keterbatasan yang ada--terutama anggaran, dukungan masyarakat dan pemerintah serta sarana dan prasarana pendukung--perpustakaan digital tampaknya masih merupakan impian bagi sebagian besar sekolah. Lebih jauh, ada sejumlah masalah perpustakaan jenis ini yang mesti dipikirkan bila keberadaannya di sekolah dipancangkan sebagai rencana jangka panjang--seperti batasan usia untuk mengakses informasi dalam situs-situs 'tertentu'. Sekalipun demikian, sebagai bentuk perpustakaan masa depan, perpustakaan digital harus tetap diimpikan dan berupaya dicapai sekolah.
Kebijakan koleksi perpustakaan
Alternatif paling realistik untuk menyikapi berbagai tantangan dan kenyataan yang menghadang di depan mata adalah menetapkan arah kebijakan koleksi kepustakaan sekolah. Minimnya anggaran tidak bisa dijadikan alasan buruknya kondisi perpustakaan yang ada di suatu sekolah. Bila sekolah menyadari bahwa andil perpustakaan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sangat besar, ia harus dapat menyiasati persoalan itu agar bisa mengembangkan perpustakaannya.
Apabila alternatif itu ditempuh, beberapa hal sehubungan dengan kebijakan koleksi pustaka perlu dipikirkan, antara lain: perumusan arah kebijakan koleksi, badan yang menjalankan kebijakan tersebut, kriteria pengadaan koleksi pustaka itu sendiri, prosedurnya, dan pertimbangan ulang terhadap koleksi yang dianggap bias. Masalah hak cipta, sehubungan dengan penggandaan bahan-bahan dalam proses mengajar-belajar, juga barangkali perlu ditetapkan sebagai kebijakan perpustakaan sekolah.
Sehubungan dengan prosedur, pengurus perpustakaan sekolah dapat mendelegasikan tanggung jawab kepada siswa untuk ikut terlibat dalam membuat prosedur-prosedur administratif mulai dari surat-menyurat sampai persyaratan-persyaratan peminjaman pustaka maupun pemutihan pustaka--yang secara efektif dapat mendukung implementasi kebijakan koleksi pustaka. Sementara itu, tentang hak cipta dan penggandaan bahan untuk kepentingan proses belajar-mengajar harus dilakukan secara prosedural karena Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia tidak membolehkan penggandaan bahan-bahan pustaka tanpa otorisasi pemegang hak cipta, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu yang bersifat nirlaba. Pengecualian itu bisa dimanfaatkan pihak perpustakaan sekolah secara fair untuk mendukung proses belajar-mengajar. Penggandaan bahan-bahan pustaka secara sebagian untuk menunjang proses tersebut, tanpa tujuan komersial dan tanpa menimbulkan kerugian pemegang hak cipta, masih dapat ditoleransi. Yang tidak dapat ditoleransi adalah jenis-jenis penggandaan yang bersifat komersial dan merugikan pemegang hak cipta. Dalam kasus ini, pelanggarnya dapat dituntut sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Apabila perpustakaan sekolah dikembangkan seperti yang diutarakan, kita bisa berharap dalam waktu-waktu mendatang ia dapat berfungsi sebagai perpustakaan yang baik, yakni perpustakaan yang dapat menyediakan segala sumber informasi terpilih yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan para penggunanya, untuk dan dalam rangka meningkatkan proses belajar-mengajar yang lebih berorientasi pada kualitas.
Oleh Taufik Adnan Amal, Dosen UIN Alauddin, Makassar
Adanya tuntutan yang semakin meningkat dalam perolehan informasi dan arus globalisasi yang menyebabkan melimpahnya informasi dalam pelbagai jenis maupun bentuk media serta tersedianya perangkat yang mampu menunjang kegiatan yang sulit dilakukan di masa-masa lalu jelas memberikan peluang besar bagi perpustakaan dalam hal ini perpustakaan sekolah untuk membenahi diri dalam pola layanan, kebijakan koleksi, pengadaan, dan lainnya.
Realitas perpustakaan
Nasib perpustakaan di Indonesia memang sejak dulu terbengkalai. Bukan hanya perpustakaan sekolah yang kondisinya menyedihkan, melainkan juga perpustakaan-perpustakaan lainnya juga mengalami hal serupa. Dari sekitar 1.000 perpustakaan khusus yang ada di Indonesia, misalnya, baru 10% dari jumlah itu yang dapat dikatakan baik. Bahkan, dana yang dialokasikan pemerintah untuk anggaran perpustakaan nasional juga sangat kurang memadai. Akibatnya, perpustakaan nasional tidak bisa memberikan layanan yang prima kepada masyarakat di berbagai daerah.
Kondisi itu semakin runyam dengan rendahnya budaya baca di indonesia. meskipun data yang dikeluarkan UNESCO pada 1993 mencatat 84% penduduk Indonesia sudah melek huruf, jauh di atas rata-rata negara berkembang yang cuma 69%, angka kunjungan ke berbagai perpustakaan terlihat tidak sejalan dengannya. Pemimpin Perpustakaan Nasional pernah mengatakan bahwa cuma 1% penduduk Indonesia yang mau mengunjungi perpustakaan. Jika dikaitkan dengan penerbitan buku, hanya ada 12 judul baru setahun untuk setiap juta penduduk Indonesia rata-rata negara berkembang 55 judul, dan negara maju 513 judul baru setahun untuk setiap juta penduduk. Demikian pula, jumlah tiras surat kabar hanya 2,8% dari penduduk Indonesia standar UNESCO 10% (negara maju di atas 30%). Dengan demikian, kemelekhurufan masyarakat Indonesia belumlah fungsional atau tidak digunakan untuk menyerap dan mereproduksi informasi tertulis.
Dengan berbagai tantangan dan kenyataan yang ada, perpustakaan sekolah perlu merumuskan kembali jati dirinya sebagai perpustakaan yang baik. Sebagai perpustakaan yang baik, perpustakaan sekolah diharapkan dapat menyediakan segala sumber informasi terpilih yang sesuai dengan kebutuhan pemakainya. Konsep kepemilikan informasi, yang tadinya ditekankan pada penyediaan gedung serta koleksi selengkap mungkin, tidak lagi memadai. Padahal, informasi memang tersedia, terus berkembang, dan dibutuhkan bagi pembentukan masyarakat belajar. Di sinilah perpustakaan dituntut menjalankan peranannya sebagai mediator informasi.
Perpustakaan digital
Solusi ideal untuk berbagai permasalahan tersebut adalah mentransformasikan perpustakaan tradisional sekolah menjadi perpustakaan digital. Internet menawarkan alternatif baru dalam penyediaan informasi dan sekaligus penyebarluasan informasi. Jika sebelumnya, informasi berbasis cetak merupakan primadona perpustakaan tradisional, sekarang tersedia format baru dalam bentuk digital melalui web. Koleksi bahan digital yang ditransmisikan secara elektronik, yang disebut perpustakaan digital, keberadaannya semakin penting dalam pemenuhan kebutuhan informasi pengguna.
Di sisi lain, standar dan teknologi internet sebagai media penyedia bahan digital akan terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Kalangan tertentu pengamat perpustakaan digital menyebutkan ada empat hal yang akan membuat internet nantinya semakin dominan sebagai bisnis. Pertama, infrastruktur internet akan terus diperkuat dan ditingkatkan untuk menyediakan tulang punggung yang berkapasitas tinggi dan aman. Kedua, internet akan menghubungkan dan mengintegrasikan sistem noninternet seperti pertukaran data elektronik dan pemrosesan transaksi. Ketiga, internet akan memungkinkan pengguna mengakses informasi dan pelayanan dari mana saja serta kapan saja dengan menggunakan peralatan pilihan mereka. Keempat, dengan terjadinya ledakan informasi yang tersedia melalui internet, akan tersedia berbagai pendekatan baru untuk menemukan dan mengindeks informasi (Robert B Palmer, 1997).
Sekalipun memerlukan investasi yang cukup besar untuk membuat perpustakaan digital, yang tentunya merupakan kendala tersendiri di masa krisis ini, dalam operasinya perpustakaan ini secara ekonomis lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan perpustakaan tradisional. Ada empat alasan mengapa jenis perpustakaan digital bisa lebih ekonomis. Pertama, institusi dapat berbagi koleksi digital. Kedua, koleksi digital dapat mengurangi kebutuhan terhadap bahan cetak pada tingkat lokal. Ketiga, penggunaannya akan meningkatkan akses elektronik. Dan keempat, nilai jangka panjang koleksi digital akan mengurangi biaya berkaitan dengan pemeliharaan dan penyampaiannya (Stephen Chapman & Anne R Kenney, 1996).
Namun, dengan segala keterbatasan yang ada--terutama anggaran, dukungan masyarakat dan pemerintah serta sarana dan prasarana pendukung--perpustakaan digital tampaknya masih merupakan impian bagi sebagian besar sekolah. Lebih jauh, ada sejumlah masalah perpustakaan jenis ini yang mesti dipikirkan bila keberadaannya di sekolah dipancangkan sebagai rencana jangka panjang--seperti batasan usia untuk mengakses informasi dalam situs-situs 'tertentu'. Sekalipun demikian, sebagai bentuk perpustakaan masa depan, perpustakaan digital harus tetap diimpikan dan berupaya dicapai sekolah.
Kebijakan koleksi perpustakaan
Alternatif paling realistik untuk menyikapi berbagai tantangan dan kenyataan yang menghadang di depan mata adalah menetapkan arah kebijakan koleksi kepustakaan sekolah. Minimnya anggaran tidak bisa dijadikan alasan buruknya kondisi perpustakaan yang ada di suatu sekolah. Bila sekolah menyadari bahwa andil perpustakaan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sangat besar, ia harus dapat menyiasati persoalan itu agar bisa mengembangkan perpustakaannya.
Apabila alternatif itu ditempuh, beberapa hal sehubungan dengan kebijakan koleksi pustaka perlu dipikirkan, antara lain: perumusan arah kebijakan koleksi, badan yang menjalankan kebijakan tersebut, kriteria pengadaan koleksi pustaka itu sendiri, prosedurnya, dan pertimbangan ulang terhadap koleksi yang dianggap bias. Masalah hak cipta, sehubungan dengan penggandaan bahan-bahan dalam proses mengajar-belajar, juga barangkali perlu ditetapkan sebagai kebijakan perpustakaan sekolah.
Sehubungan dengan prosedur, pengurus perpustakaan sekolah dapat mendelegasikan tanggung jawab kepada siswa untuk ikut terlibat dalam membuat prosedur-prosedur administratif mulai dari surat-menyurat sampai persyaratan-persyaratan peminjaman pustaka maupun pemutihan pustaka--yang secara efektif dapat mendukung implementasi kebijakan koleksi pustaka. Sementara itu, tentang hak cipta dan penggandaan bahan untuk kepentingan proses belajar-mengajar harus dilakukan secara prosedural karena Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia tidak membolehkan penggandaan bahan-bahan pustaka tanpa otorisasi pemegang hak cipta, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu yang bersifat nirlaba. Pengecualian itu bisa dimanfaatkan pihak perpustakaan sekolah secara fair untuk mendukung proses belajar-mengajar. Penggandaan bahan-bahan pustaka secara sebagian untuk menunjang proses tersebut, tanpa tujuan komersial dan tanpa menimbulkan kerugian pemegang hak cipta, masih dapat ditoleransi. Yang tidak dapat ditoleransi adalah jenis-jenis penggandaan yang bersifat komersial dan merugikan pemegang hak cipta. Dalam kasus ini, pelanggarnya dapat dituntut sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.
Apabila perpustakaan sekolah dikembangkan seperti yang diutarakan, kita bisa berharap dalam waktu-waktu mendatang ia dapat berfungsi sebagai perpustakaan yang baik, yakni perpustakaan yang dapat menyediakan segala sumber informasi terpilih yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan para penggunanya, untuk dan dalam rangka meningkatkan proses belajar-mengajar yang lebih berorientasi pada kualitas.
Oleh Taufik Adnan Amal, Dosen UIN Alauddin, Makassar
Komentar
Posting Komentar