Oleh DARMANINGTYAS
Kementerian Pendidikan Nasional telah keliru dengan kebijakannya mengembangkan rintisan sekolah bertaraf internasional dan sekolah bertaraf internasional, serta membuat standar tunggal manajemen pengelolaan sekolah dengan sertifikasi ISO 9001:2000.
Kebijakan itu tanpa disadari telah menciptakan kasta bagi sekolah: sekolah bertaraf internasional (SBI), rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), sekolah kategori mandiri, sekolah standar nasional, sekolah reguler, dan sekolah pinggiran. Itu di luar sekolah internasional yang mulai merambah kota provinsi dan dimasuki anak asli Indonesia.
Cikal bakal kasta sekolah terjadi pada masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro (1993-1998). Dia membentuk sekolah unggulan dengan maksud mengeliminasi sebutan sekolah favorit. Banyak sekolah yang dikenal masyarakat sebagai sekolah favorit tak masuk kategori sekolah unggulan sebab proses menjadinya melalui penunjukan di setiap provinsi.
Aspek politis (mempromosikan sekolah bersangkutan) tak dapat terelakkan. Banyak sekolah yang nyata-nyata unggul tak ditunjuk sebagai sekolah unggulan, sebaliknya yang disebut sekolah unggulan belum tentu unggul. Istilah sekolah favorit sendiri berasal dari masyarakat, yang secara obyektif kontinu mengamati alumni suatu sekolah. Lulusan SD favorit diterima di SMP favorit. Lulusan SMP favorit masuk SMA favorit. Lulusan SMA favorit lolos ke perguruan tinggi negeri favorit.
Terencana
Sekolah unggulan lahir secara terencana. Pembentukannya disertai penggelontoran dana dari pemerintah. Keberadaan sekolah unggulan lalu dilegitimasi menjadi RSBI dan SBI setelah pergantian UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ke UU No 20/2003. Pasal 50 Ayat 3: "Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan jadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional".
Pasal ini sebetulnya tak mengikat. Tak ada kata "wajib". Daerah tak dapat dikenai sanksi. Karena program ini datang dari pemerintah pusat dan setiap daerah bangga dengan SBI: daerah berlomba mengembangkan SBI sebanyak-banyaknya. Lagi pula, di balik pembentukan RSBI dan SBI itu ada dana ratusan juta rupiah.
Soal yang timbul dari RSBI dan SBI: selain beroleh dana ratusan juta rupiah, ia juga diberi kebebasan memungut biaya dari murid tanpa ada batasan dari pemerintah. Sekolah berlabel SBI atau RSBI jadi amat mahal. Untuk masuk SD RSBI, selain harus tes, seseorang membayar jutaan rupiah. Ironisnya, masyarakat terbuai dengan sebutan itu: meski mahal, sekolah itu diburu.
Pada sekolah negeri lain, kucuran dana terbatas. Bagi sekolah swasta, gelontoran dana adalah mustahil. Inilah genesis ketidakadilan antara RSBI atau SBI dan sekolah lain. Dalih pengelola RSBI: biaya yang mahal adalah untuk memenuhi fasilitas demi menuju SBI. Dalih pengelola SBI: biaya yang mahal dipakai demi mencapai standar internasional.
Maka, sekolah yang dulu disebut favorit tak lagi bisa diakses golongan miskin. Ia jadi sangat elitis. Anak miskin meski pintar terpaksa harus belajar di sekolah pinggiran karena biayanya terjangkau. Pemerintah tanpa sadar menciptakan lebih dari satu sistem pendidikan nasional: SBI, RSBI, dan sekolah lain. Ini bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah menciptakan satu sistem pendidikan nasional.
Dampak buruk RSBI dan SBI: ia membentuk kultur tersendiri lewat pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar beberapa pelajaran. Sebagai upaya meningkatkan kemampuan, berbahasa Inggris selama jam pelajarannya di sekolah tentu tidak salah. Namun, bila bahasa Inggris menjadi bahasa pengantar di sekolah menggantikan bahasa Indonesia, itu mengingkari Sumpah Pemuda dan melanggar UUD 1945 yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Sertifikasi ISO
Kementerian Pendidikan Nasional juga mendorong sekolah dan kampus memiliki sertifikasi ISO 9001:2000 sebagai wujud standardisasi manajemen sekolah dan kampus. Kebijakan mendorong peningkatan manajemen sekolah adalah baik, tetapi tak harus dicapai dalam bentuk sertifikasi ISO 9001:2000 yang sarat kapital. Demi sertifikasi ISO 9001:2000 diperlukan puluhan juta rupiah (mulai dari persiapan hingga mendapatkan sertifikat). Ujung-ujungnya, beban biaya sertifikasi ISO harus dipikul murid atau mahasiswa.
Sebagai sebuah sistem manajemen mutu, ISO 9001:2000 mendefinisikan "mutu" dalam nalar industri, yakni untuk kepuasan pelanggan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan hakikat mutu dalam terminologi pendidikan, yang lebih substansial dan kultural. Mutu dalam pendidikan berbicara mengenai pembentukan karakter, pemahaman akan kehidupan, relasi sosial, dan pandangan dunia anak didik.
Isonisasi sekolah telah menjebak pengelolaan pendidikan pada persoalan manajerial belaka, seakan-akan persoalan pendidikan di Indonesia adalah masalah manajemen pengelolaannya. Padahal, jelas, dalam pendidikan, manajemen itu hanya sarana untuk mencapai mutu, bukan sebagai tujuan utama. Sungguh naif bila sebagai sarana kemudian dijadikan tujuan dan diproyekkan.
Oleh sebab itu, sama halnya dengan program RSBI-SBI yang perlu dihentikan, program isonisasi sekolah pun perlu dihentikan. Pengelolaan sekolah perlu berbasis budaya, dana pemerintah yang besar lebih baik diarahkan untuk peningkatan fasilitas pendidikan dan kesejahteraan guru daripada untuk membeli sertifikat ISO guna standardisasi manajemen.
Komentar
Posting Komentar