Besok, 22-26 Maret, ujian nasional (UN) untuk tingkat sekolah menengah atas (SMA) dimulai. Pekan berikutnya menyusul untuk tingkat sekolah menengah pertama (SMP) dan beberapa pekan kemudian dilanjutkan untuk tingkat sekolah dasar (SD).
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kontroversi tentang UN kali ini relatif sepi, tidak sehangat dulu. Barangkali sudah banyak yang putus asa untuk memperjuangkan pemikirannya bahwa UN tidak perlu dilaksanakan. Atau, barangkali pula sebagian sudah memaklumi bahwa UN memang dibutuhkan agar tak terjadi ketimpangan pendidikan.
Banyak sekolah yang mempersiapkan diri dengan baik agar murid-muridnya nanti bisa lulus semua dalam UN nanti. Sebagian besar dari mereka memberikan pelajaran tambahan, khususnya pada pelajaran yang diujikan kepada siswanya. Biasanya, pelajaran tambahan itu diberikan pada sore hari setelah bubaran resmi sekolah.
Para siswa pun secara sendiri-sendiri juga mencoba menyiapkan diri secara matang, seperti mengikuti bimbingan tes di lembaga tertentu. Ada juga yang mengundang guru privat ke rumahnya. Tak jarang, meskipun sudah memperoleh pelajaran tambahan di kelas, mereka masih ikut bimbingan tes.
Jika efek seperti itu sudah menyebar di seantera pelosok Indonesia, tentu saja menggembirakan. Setidaknya, salah satu tujuan UN tercapai, yakni memaksa siswa untuk bekerja keras melalui belajar. Tidak peduli mereka yang pintar atau tidak, tak peduli di Jakarta atau Papua, semua dipaksa untuk belajar agar bisa lulus.
Belajar keras seperti itu juga wujud perbaikan mental siswa. Pada saat awal dilaksanakan UN, gairah untuk belajar keras belum terasakan. Justru, yang kelihatan adalah usaha agar mereka memperoleh bocoran soal. Guru-guru pun sebagian tak lepas dari upaya-upaya yang tidak sehat, seperti membocorkan soal demi kelulusan anak didiknya.
Jargon yang kini digemakan adalah 'Prestasi Yes, Jujur Harus'. Maksudnya, raihlah prestasi, raihlah kelulusan dengan kejujuran. Bukan hanya siswa yang dituntut jujur, tetapi juga para guru. Jangan karena kasihan dengan anak didiknya, guru menjadi tidak jujur. Jangan karena menjaga gengsi agar semua murid lulus, guru menjadi tidak jujur.
Pemerintah sendiri sudah mengantisipasi kecurangan dengan membuat prosedur operasional standar (POS). Dari situ, kemudian dibentuk Tim Pemantau Independen (TPI) yang disebar ke setiap sekolah. Bahkan, mereka juga melibatkan aparat kepolisian untuk mengawasi, mulai dari pencetakan soal, distribusi, sampai pelaksanaan di sekolah.
Antisipasi tersebut jelas berbiaya mahal, tapi itulah yang harus dilakukan agar pelaksanaan UN ini bisa berjalan dengan mulus tanpa ada kecurangan. Seandainya semua mau berlaku jujur dan malu berbuat tidak jujur, sebetulnya tidak perlu membentuk tim yang melibatkan banyak pihak tersebut sehingga biayanya bisa dipakai untuk keperluan lain.
Tahun silam, menurut kepala Balitbang Kemendiknas, sekolah yang jujur melaksanakan UN sekitar 60 persen, kemudian yang masih wilayah abu-abu 30 persen, dan yang tidak jujur 10 persen dan sebagian di wilayah terpencil. Semestinya, tahun ini harus lebih baik, persentase kejujuran harus naik, dan yang paling penting ketidakjujuran harus nol persen.
Jika ada yang mencoba berbuat tidak jujur, apalagi jika yang berperan dalam ketidakjujuran itu adalah guru, harus ditindak dengan tegas. Guru harus memberi teladan yang baik, bukan malah memberi contoh buruk. UN yang dimulai pekan depan ini harus menomorsatukan kejujuran.
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kontroversi tentang UN kali ini relatif sepi, tidak sehangat dulu. Barangkali sudah banyak yang putus asa untuk memperjuangkan pemikirannya bahwa UN tidak perlu dilaksanakan. Atau, barangkali pula sebagian sudah memaklumi bahwa UN memang dibutuhkan agar tak terjadi ketimpangan pendidikan.
Banyak sekolah yang mempersiapkan diri dengan baik agar murid-muridnya nanti bisa lulus semua dalam UN nanti. Sebagian besar dari mereka memberikan pelajaran tambahan, khususnya pada pelajaran yang diujikan kepada siswanya. Biasanya, pelajaran tambahan itu diberikan pada sore hari setelah bubaran resmi sekolah.
Para siswa pun secara sendiri-sendiri juga mencoba menyiapkan diri secara matang, seperti mengikuti bimbingan tes di lembaga tertentu. Ada juga yang mengundang guru privat ke rumahnya. Tak jarang, meskipun sudah memperoleh pelajaran tambahan di kelas, mereka masih ikut bimbingan tes.
Jika efek seperti itu sudah menyebar di seantera pelosok Indonesia, tentu saja menggembirakan. Setidaknya, salah satu tujuan UN tercapai, yakni memaksa siswa untuk bekerja keras melalui belajar. Tidak peduli mereka yang pintar atau tidak, tak peduli di Jakarta atau Papua, semua dipaksa untuk belajar agar bisa lulus.
Belajar keras seperti itu juga wujud perbaikan mental siswa. Pada saat awal dilaksanakan UN, gairah untuk belajar keras belum terasakan. Justru, yang kelihatan adalah usaha agar mereka memperoleh bocoran soal. Guru-guru pun sebagian tak lepas dari upaya-upaya yang tidak sehat, seperti membocorkan soal demi kelulusan anak didiknya.
Jargon yang kini digemakan adalah 'Prestasi Yes, Jujur Harus'. Maksudnya, raihlah prestasi, raihlah kelulusan dengan kejujuran. Bukan hanya siswa yang dituntut jujur, tetapi juga para guru. Jangan karena kasihan dengan anak didiknya, guru menjadi tidak jujur. Jangan karena menjaga gengsi agar semua murid lulus, guru menjadi tidak jujur.
Pemerintah sendiri sudah mengantisipasi kecurangan dengan membuat prosedur operasional standar (POS). Dari situ, kemudian dibentuk Tim Pemantau Independen (TPI) yang disebar ke setiap sekolah. Bahkan, mereka juga melibatkan aparat kepolisian untuk mengawasi, mulai dari pencetakan soal, distribusi, sampai pelaksanaan di sekolah.
Antisipasi tersebut jelas berbiaya mahal, tapi itulah yang harus dilakukan agar pelaksanaan UN ini bisa berjalan dengan mulus tanpa ada kecurangan. Seandainya semua mau berlaku jujur dan malu berbuat tidak jujur, sebetulnya tidak perlu membentuk tim yang melibatkan banyak pihak tersebut sehingga biayanya bisa dipakai untuk keperluan lain.
Tahun silam, menurut kepala Balitbang Kemendiknas, sekolah yang jujur melaksanakan UN sekitar 60 persen, kemudian yang masih wilayah abu-abu 30 persen, dan yang tidak jujur 10 persen dan sebagian di wilayah terpencil. Semestinya, tahun ini harus lebih baik, persentase kejujuran harus naik, dan yang paling penting ketidakjujuran harus nol persen.
Jika ada yang mencoba berbuat tidak jujur, apalagi jika yang berperan dalam ketidakjujuran itu adalah guru, harus ditindak dengan tegas. Guru harus memberi teladan yang baik, bukan malah memberi contoh buruk. UN yang dimulai pekan depan ini harus menomorsatukan kejujuran.
......dari inbox gmail . com ...
Komentar
Posting Komentar