Persoalan di negeri ini seolah tak ada habisnya. Mulai dari naiknya harga sembako, disusul tidak telitinya pemerintah dalam menaikkan tarif dasar listrik, sampai korupsi yang melibatkan petinggi negara, semuanya terus menjadi sorotan media, baik cetak maupun elektronik.
Tapi, di sela-sela panasnya pemberitaan masalah tersebut, pekan kemarin ada beberapa berita yang menggugah semangat, yakni berita terkait dengan teknologi. Prestasi teknologi yang ditorehkan menyiratkan bahwa negeri kita ini menyimpan potensi sumber daya manusia yang luar biasa.
Berita pertama adalah keberhasilan mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menjadi juara pertama dalam Shell Eco Marathon Asia di Malaysia. Mobil yang mereka rancang menjadi juara dalam kategori urban concept dengan bahan bakar bensin. Mobil rancangannya adalah yang teririt di mana satu liter bensin dapat menempuh jarak 237,6 km.
Berikutnya Dr Irwandi Jaswir. Asosiate professor di jurusan Biotechnology Engineering, International Islamic University Malaysia itu, berhasil memperoleh anugerah tertinggi dalam forum ilmiah World Halal Award Research Summit di Kuala Lumpur. Forum tersebut diikuti peneliti dari seluruh dunia terkait industri halal.
Berita lainnya adalah kerja sama antara Indonesia dan Korea untuk membuat jet tempur. Membangun jet tempur bukan perkara mudah karena lebih rumit dari pesawat penumpang. Berarti di sini dibutuhkan orang-orang yang sangat kompeten. Dan, ketika kita sudah masuk di industri ini, berarti kita punya sumber daya yang mumpuni untuk itu.
Sebetulnya jika mau dirinci masih banyak lagi prestasi yang ditorehkan anak bangsa ini di bidang teknologi. Belum lagi generasi penerus yang selama ini hampir tiap tahun menjadi langganan juara olimpiade, baik sains, fisika, matematika, maupun biologi. Ketiga berita itu sepertinya melengkapi daftar sumber daya manusia yang hebat di negara ini.
Tapi, tampaknya prestasi-prestasi tersebut tenggelam. Bukan saja tenggelam dalam pemberitaan, tapi yang lebih mengenaskan adalah tenggelam dalam arus pusaran birokrasi yang tidak mampu mengoptimalkan sumber daya manusia tersebut. Begitu banyak prestasi, tapi ketika masuk dalam sebuah sistem, prestasi individu itu hilang.
Begitu banyak manusia-manusia pintar di negeri ini yang tidak memperoleh tempat untuk mengembangkan ilmunya dan juga tidak memperoleh penghargaan selayaknya sehingga mereka mencarinya di negeri seberang. Kita ingat bagaimana dulu IPTN 'dibumihanguskan' sehingga banyak karyawan pintar pindah kerja ke luar negeri.
Tidak beda dengan siswa peraih juara olimpiade. Ada di antara mereka ditolak masuk perguruan tinggi. Beberapa di antaranya masuk, tapi tetap harus membayar uang kuliah. Sementara negeri seberang, justru memberikan beasiswa dengan persyaratan setelah lulus bekerja di negara tersebut dalam waktu tertentu. Kelak, negara itu memiliki pekerja yang mumpuni.
Indonesia memiliki banyak orang berprestasi. Namun sayang, prestasi itu sifatnya masih individu. Semestinya pemerintah bisa membuat sebuah sistem agar semua prestasi individu tersebut terkelola dengan baik sehingga bisa disinergikan dengan kepentingan nasional. Kita bangun negeri ini dengan kekuatan sumber daya manusia kita sendiri.
Tapi, di sela-sela panasnya pemberitaan masalah tersebut, pekan kemarin ada beberapa berita yang menggugah semangat, yakni berita terkait dengan teknologi. Prestasi teknologi yang ditorehkan menyiratkan bahwa negeri kita ini menyimpan potensi sumber daya manusia yang luar biasa.
Berita pertama adalah keberhasilan mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menjadi juara pertama dalam Shell Eco Marathon Asia di Malaysia. Mobil yang mereka rancang menjadi juara dalam kategori urban concept dengan bahan bakar bensin. Mobil rancangannya adalah yang teririt di mana satu liter bensin dapat menempuh jarak 237,6 km.
Berikutnya Dr Irwandi Jaswir. Asosiate professor di jurusan Biotechnology Engineering, International Islamic University Malaysia itu, berhasil memperoleh anugerah tertinggi dalam forum ilmiah World Halal Award Research Summit di Kuala Lumpur. Forum tersebut diikuti peneliti dari seluruh dunia terkait industri halal.
Berita lainnya adalah kerja sama antara Indonesia dan Korea untuk membuat jet tempur. Membangun jet tempur bukan perkara mudah karena lebih rumit dari pesawat penumpang. Berarti di sini dibutuhkan orang-orang yang sangat kompeten. Dan, ketika kita sudah masuk di industri ini, berarti kita punya sumber daya yang mumpuni untuk itu.
Sebetulnya jika mau dirinci masih banyak lagi prestasi yang ditorehkan anak bangsa ini di bidang teknologi. Belum lagi generasi penerus yang selama ini hampir tiap tahun menjadi langganan juara olimpiade, baik sains, fisika, matematika, maupun biologi. Ketiga berita itu sepertinya melengkapi daftar sumber daya manusia yang hebat di negara ini.
Tapi, tampaknya prestasi-prestasi tersebut tenggelam. Bukan saja tenggelam dalam pemberitaan, tapi yang lebih mengenaskan adalah tenggelam dalam arus pusaran birokrasi yang tidak mampu mengoptimalkan sumber daya manusia tersebut. Begitu banyak prestasi, tapi ketika masuk dalam sebuah sistem, prestasi individu itu hilang.
Begitu banyak manusia-manusia pintar di negeri ini yang tidak memperoleh tempat untuk mengembangkan ilmunya dan juga tidak memperoleh penghargaan selayaknya sehingga mereka mencarinya di negeri seberang. Kita ingat bagaimana dulu IPTN 'dibumihanguskan' sehingga banyak karyawan pintar pindah kerja ke luar negeri.
Tidak beda dengan siswa peraih juara olimpiade. Ada di antara mereka ditolak masuk perguruan tinggi. Beberapa di antaranya masuk, tapi tetap harus membayar uang kuliah. Sementara negeri seberang, justru memberikan beasiswa dengan persyaratan setelah lulus bekerja di negara tersebut dalam waktu tertentu. Kelak, negara itu memiliki pekerja yang mumpuni.
Indonesia memiliki banyak orang berprestasi. Namun sayang, prestasi itu sifatnya masih individu. Semestinya pemerintah bisa membuat sebuah sistem agar semua prestasi individu tersebut terkelola dengan baik sehingga bisa disinergikan dengan kepentingan nasional. Kita bangun negeri ini dengan kekuatan sumber daya manusia kita sendiri.
Komentar
Posting Komentar