Oleh : Arissetyanto Nugroho
(Wakil Rektor Universitas Mercu Buana)
Peran lembaga yudikatif di Tanah Air, sebagai benteng pembela rasa keadilan masyarakat Indonesia, semakin hari semakin menunjukkan kinerja positif. Setelah Mahkamah Konstitusi membuat terobosan hukum dalam kasus Bibit Rianto-Chandra Hamzah, kini giliran Mahkamah Agung juga tidak mau kalah dalam memenangkan gugatan masyarakat terhadap pemerintah dalam kasus Ujian Nasional.
Majelis Hakim Agung yang diketuai Abbas Said dengan anggota Imam Haryadi dan Mansyur Kertayasa telah menolak Kasasi Ujian Nasional yang diajukan pemerintah. Keputusan Mahkamah Agung ini memperkuat keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI pada 6 Desember 2007, yang isinya memerintahkan tergugat (pemerintah) untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana, serta akses informasi di seluruh Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan Ujian Nasional.
Bagaimana nasib Ujian Nasional selanjutnya? Menteri Pendidikan Nasional Prof Moehamad Nuh telah mengisyaratkan bahwa Ujian Nasional tetap akan dilaksanakan pada tahun 2010. Anggaran penyelenggaraan UNAS sudah dialokasikan sebesar Rp 500 miliar, yang digunakan untuk persiapan ujian, penyusunan naskah soal, pencetakan soal dan lembar jawaban, serta biaya pengawasan ujian. Namun, tidak seperti pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya, Ujian Nasional tahun 2010 mendatang akan diadakan juga ujian ulangan dan susulan sehingga Ujian Nasional akan dipercepat pelaksanaannya pada Maret 2010.
Adapun pascaputusan kasasi tersebut, pemerintah cq Departemen Pendidikan Nasional telah berketetapan hati untuk melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK). Dengan upaya Peninjauan Kembali tersebut, tentu cita-cita masyarakat untuk segera terlepas dari momok Ujian Nasional masih sangatlah jauh.
Diperlukan kesatuan sikap dan upaya sistematis, menyeluruh, serta terus-menerus dari seluruh komponen masyarakat baik guru, siswa, orang tua, siswa, maupun LSM untuk meletakkkan format Ujian Nasional yang ideal dalam tatanan sistem Pendidikan Nasional Indonesia.
Benahi dahulu mutu pendidikan
Proses pembelajaran menyangkut keterlibatan berbagai pihak, yakni sarana dan prasarana sekolah, guru, kurikulum, kondisi sosial, dan sistem pendidikan itu sendiri. UUD 45 dengan jelas mengamanatkan bahwa negara bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan layak. Dengan demikian, negara berkewajiban menyediakan seluruh fasilitas pendidikan sesempurna mungkin untuk mendukung pelaksanaan pendidikan yang ideal, bagi seluruh warga negara Indonesia.
Menyangkut ketentuan dana pendidikan, misalnya pemerintah baru mampu memenuhi besaran 20 persen anggaran pendidikan dari APBN pada tahun anggaran 2009 ini. Mengenai sumber daya manusia guru, berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Pendidikan, hingga saat ini kualitas guru belum banyak mengalami peningkatan. Tahun 2007, dari keseluruhan guru di Tanah Air yang mengikuti sertifikasi, hanya 30 persen yang lulus.
Tahun 2008, persentase kelulusan menurun menjadi hanya 50 persen dan ada 42 ribu guru dari 200 ribu guru, yang tak bisa diproses sertifikasinya dengan berbagai sebab. Data lain menunjukkan, dari 2,7 juta guru di seluruh Indonesia, hanya 500 ribu guru yang lolos sertifikasi.
Data di atas menunjukkan bahwa kualitas guru belumlah merata di seluruh Tanah Air. Bahkan, apabila diadakan uji ulang terhadap kemampuan guru dalam melakukan pengajaran, bisa jadi persentase kelayakan guru untuk mengajar siswa di kelas akan lebih rendah lagi. Hal ini disebabkan, untuk mendapatkan sumber daya guru yang berkualitas tinggi tentulah harus melalui tahapan input, transformasi proses yang berkualitas tinggi sehingga output yang dihasilkan akan berkualitas tinggi pula.
Peningkatan kesejahteraan guru melalui pemberian tunjangan profesi hanyalah merupakan bagian kecil dari pembenahan sistem tersebut. Pemerintah haruslah memberi insentif tinggi kepada insan-insan terbaik bangsa, seperti lulusan-lulusan perguruan tinggi negeri dan swasta (tidak hanya lulusan FKIP), untuk mengabdikan diri sebagai guru tingkat SD hingga SMA di seluruh pelosok Tanah Air.
Demikian pula, menyangkut prasarana dan sarana, masih banyak terdapat sekolah yang kondisinya tidak layak sebagai tempat belajar mengajar, bahkan rusak sama sekali. Fasilitas buku dan sarana penunjang pembelajaran, seperti alat-alat praktik untuk mata pelajaran tertentu, akses internet masih jauh dari tataran ideal, terutama bagi mereka yang bersekolah jauh dari pusat kabupaten/kota.
Melihat kondisi tersebut, sangat bisa dipahami apabila Majelis Hakim Agung Kasasi MA memutuskan bahwa kebijakan Ujian Nasional belum dapat diterapkan, sebelum pemerintah memenuhi prasyarat pemenuhan peningkatan kualitas seluruh komponen pendidikan di seluruh Tanah Air.
Kebijakan mengadakan ujian ulangan bagi siswa yang tidak lulus Ujian Nasional pada tahun 2010, merupakan salah satu bukti ketidakadilan dan inkonsistensi sikap pemerintah dalam memperlakukan kelulusan siswa SMP/SMA, mengingat pada pelaksanaan Ujian Nasional enam tahun terakhir, pemerintah hanya memberi kesempatan siswa yang tidak lulus Ujian Nasional dengan mengikuti Ujian Paket B dan C.
Beberapa tahun lalu, Depdiknas pernah dengan gencar menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa perlakuan siswa lulusan Ujian Nasional dengan lulusan Paket C, tidaklah berbeda dalam menempuh ke jenjang perguruan tinggi, walaupun faktanya mayoritas mahasiswa yang masuk PTN merupakan lulusan Ujian Nasional. Pemerintah cq Departemen Pendidikan Nasional hendaknya bersikap bijaksana dengan melaksanakan putusan kasasi Mahkamah Agung, mengingat telah memenuhi unsur berkekuatan hukum tetap.
Ujian Nasional bukan merupakan tolak ukur kualitas. Kita semua bersepakat bahwa mutu pendidikan nasional harus ditingkatkan. Pelaksanaan pendidikan nasional juga harus memiliki standar tertentu. Namun, peningkatan mutu dan standar pendidikan hanya dengan melaksanakan Ujian Nasional tanpa memperbaiki prasyarat peningkatan kualitas pendidikan, juga tidak dibenarkan.
Banyak kasus sesungguhnya yang menunjukkan bahwa Ujian Nasional tidak cukup kredibel untuk mengukur kualitas seorang siswa, seperti berbagai fakta menunjukkan banyak cara yang tidak jujur dilakukan berbagai pihak, agar siswa bisa lulus Ujian Nasional. Langkah-langkah drilling siswa sebelum ujian supaya dapat menyiasati soal-soal ujian yang berbasis pilihan ganda.
Sehingga, sekolah tidak ubahnya seperti lembaga kursus/bimbingan belajar. Tidak sedikit pula, sekolah-sekolah yang membentuk tim sukses Ujian Nasional, mengingat hasil Ujian Nasional yang tinggi akan menjadi indikator 'keberhasilan' kinerja pemerintah kabupaten dan kota di seluruh Tanah Air. Pemerintah bisa berdalih bahwa Ujian Nasional bukan menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa SMP/SMA, namun faktanya 90 persen siswa yang tidak lulus sekolah disebabkan tidak lulus Ujian Nasional.
Penulis sendiri mendapat temuan di lapangan bahwa mahasiswa sebuah PTS di Jakarta, tidak mampu menjawab soal materi dasar matematika dalam matrikulasi, seperti berapa jumlah 2/3 + 3/5. Lebih dari 30 persen siswa dalam kelas tersebut, tidak dapat menjawab dengan benar, padahal notabene mereka telah dinyatakan 'lulus' Ujian Nasional dan di- drill selama enam bulan terakhir masa sekolah mereka di SMA.
Oleh sebab itu, pemerintah haruslah mengkaji kembali apabila menjadikan Ujian Nasional sebagai faktor untuk menentukan kualitas siswa. Apalagi, ditambah keinginan untuk mengintegrasikan Ujian Nasional dengan ujian masuk perguruan tinggi, haruslah dikaji lebih mendalam. Filosofi keduanya sangatlah berbeda, jika Ujian Nasional adalah tes evaluasi untuk mengukur sejauh mana siswa SMA/SMP dapat menguasai materi mata pelajaran yang mereka dapatkan selama tiga tahun, tes masuk perguruan tinggi adalah tes prediksi yang mengukur sejauh mana calon mahasiswa tersebut dapat mengikuti perkuliahan selama empat tahun mendatang dengan baik.
Sehingga, ada kasus seorang siswa SMA bisa saja lulus UMPTN, tetapi tidak diterima di jurusan yang dipilih karena calon mahasiswa tersebut tidak lolos tes kesehatan karena buta warna. Hal-hal, seperti tes IQ dan kesehatan, tentulah tidak akan mungkin tergantikan dengan hanya kelulusan Ujian Nasional semata.
Pemerintah dan para profesional pendidikan di Indonesia hendaknya mau membuka diri bahwa mutu sumber daya manusia (SDM) Indonesia harus segera ditingkatkan, mengingat semakin sengitnya persaingan antar bangsa. Pendidikan tak semata-mata bertujuan untuk peningkatan intelektualitas, tapi juga integritas SDM manusia Indonesia di masa datang. Membangun integritas tentu haruslah melalui sebuah proses pendidikan yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, spiritualitas, dan kebangsaan sehingga akan terwujud manusia Indonesia seutuhnya.
(Wakil Rektor Universitas Mercu Buana)
Peran lembaga yudikatif di Tanah Air, sebagai benteng pembela rasa keadilan masyarakat Indonesia, semakin hari semakin menunjukkan kinerja positif. Setelah Mahkamah Konstitusi membuat terobosan hukum dalam kasus Bibit Rianto-Chandra Hamzah, kini giliran Mahkamah Agung juga tidak mau kalah dalam memenangkan gugatan masyarakat terhadap pemerintah dalam kasus Ujian Nasional.
Majelis Hakim Agung yang diketuai Abbas Said dengan anggota Imam Haryadi dan Mansyur Kertayasa telah menolak Kasasi Ujian Nasional yang diajukan pemerintah. Keputusan Mahkamah Agung ini memperkuat keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI pada 6 Desember 2007, yang isinya memerintahkan tergugat (pemerintah) untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana, serta akses informasi di seluruh Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan Ujian Nasional.
Bagaimana nasib Ujian Nasional selanjutnya? Menteri Pendidikan Nasional Prof Moehamad Nuh telah mengisyaratkan bahwa Ujian Nasional tetap akan dilaksanakan pada tahun 2010. Anggaran penyelenggaraan UNAS sudah dialokasikan sebesar Rp 500 miliar, yang digunakan untuk persiapan ujian, penyusunan naskah soal, pencetakan soal dan lembar jawaban, serta biaya pengawasan ujian. Namun, tidak seperti pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya, Ujian Nasional tahun 2010 mendatang akan diadakan juga ujian ulangan dan susulan sehingga Ujian Nasional akan dipercepat pelaksanaannya pada Maret 2010.
Adapun pascaputusan kasasi tersebut, pemerintah cq Departemen Pendidikan Nasional telah berketetapan hati untuk melakukan upaya Peninjauan Kembali (PK). Dengan upaya Peninjauan Kembali tersebut, tentu cita-cita masyarakat untuk segera terlepas dari momok Ujian Nasional masih sangatlah jauh.
Diperlukan kesatuan sikap dan upaya sistematis, menyeluruh, serta terus-menerus dari seluruh komponen masyarakat baik guru, siswa, orang tua, siswa, maupun LSM untuk meletakkkan format Ujian Nasional yang ideal dalam tatanan sistem Pendidikan Nasional Indonesia.
Benahi dahulu mutu pendidikan
Proses pembelajaran menyangkut keterlibatan berbagai pihak, yakni sarana dan prasarana sekolah, guru, kurikulum, kondisi sosial, dan sistem pendidikan itu sendiri. UUD 45 dengan jelas mengamanatkan bahwa negara bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan layak. Dengan demikian, negara berkewajiban menyediakan seluruh fasilitas pendidikan sesempurna mungkin untuk mendukung pelaksanaan pendidikan yang ideal, bagi seluruh warga negara Indonesia.
Menyangkut ketentuan dana pendidikan, misalnya pemerintah baru mampu memenuhi besaran 20 persen anggaran pendidikan dari APBN pada tahun anggaran 2009 ini. Mengenai sumber daya manusia guru, berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Pendidikan, hingga saat ini kualitas guru belum banyak mengalami peningkatan. Tahun 2007, dari keseluruhan guru di Tanah Air yang mengikuti sertifikasi, hanya 30 persen yang lulus.
Tahun 2008, persentase kelulusan menurun menjadi hanya 50 persen dan ada 42 ribu guru dari 200 ribu guru, yang tak bisa diproses sertifikasinya dengan berbagai sebab. Data lain menunjukkan, dari 2,7 juta guru di seluruh Indonesia, hanya 500 ribu guru yang lolos sertifikasi.
Data di atas menunjukkan bahwa kualitas guru belumlah merata di seluruh Tanah Air. Bahkan, apabila diadakan uji ulang terhadap kemampuan guru dalam melakukan pengajaran, bisa jadi persentase kelayakan guru untuk mengajar siswa di kelas akan lebih rendah lagi. Hal ini disebabkan, untuk mendapatkan sumber daya guru yang berkualitas tinggi tentulah harus melalui tahapan input, transformasi proses yang berkualitas tinggi sehingga output yang dihasilkan akan berkualitas tinggi pula.
Peningkatan kesejahteraan guru melalui pemberian tunjangan profesi hanyalah merupakan bagian kecil dari pembenahan sistem tersebut. Pemerintah haruslah memberi insentif tinggi kepada insan-insan terbaik bangsa, seperti lulusan-lulusan perguruan tinggi negeri dan swasta (tidak hanya lulusan FKIP), untuk mengabdikan diri sebagai guru tingkat SD hingga SMA di seluruh pelosok Tanah Air.
Demikian pula, menyangkut prasarana dan sarana, masih banyak terdapat sekolah yang kondisinya tidak layak sebagai tempat belajar mengajar, bahkan rusak sama sekali. Fasilitas buku dan sarana penunjang pembelajaran, seperti alat-alat praktik untuk mata pelajaran tertentu, akses internet masih jauh dari tataran ideal, terutama bagi mereka yang bersekolah jauh dari pusat kabupaten/kota.
Melihat kondisi tersebut, sangat bisa dipahami apabila Majelis Hakim Agung Kasasi MA memutuskan bahwa kebijakan Ujian Nasional belum dapat diterapkan, sebelum pemerintah memenuhi prasyarat pemenuhan peningkatan kualitas seluruh komponen pendidikan di seluruh Tanah Air.
Kebijakan mengadakan ujian ulangan bagi siswa yang tidak lulus Ujian Nasional pada tahun 2010, merupakan salah satu bukti ketidakadilan dan inkonsistensi sikap pemerintah dalam memperlakukan kelulusan siswa SMP/SMA, mengingat pada pelaksanaan Ujian Nasional enam tahun terakhir, pemerintah hanya memberi kesempatan siswa yang tidak lulus Ujian Nasional dengan mengikuti Ujian Paket B dan C.
Beberapa tahun lalu, Depdiknas pernah dengan gencar menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa perlakuan siswa lulusan Ujian Nasional dengan lulusan Paket C, tidaklah berbeda dalam menempuh ke jenjang perguruan tinggi, walaupun faktanya mayoritas mahasiswa yang masuk PTN merupakan lulusan Ujian Nasional. Pemerintah cq Departemen Pendidikan Nasional hendaknya bersikap bijaksana dengan melaksanakan putusan kasasi Mahkamah Agung, mengingat telah memenuhi unsur berkekuatan hukum tetap.
Ujian Nasional bukan merupakan tolak ukur kualitas. Kita semua bersepakat bahwa mutu pendidikan nasional harus ditingkatkan. Pelaksanaan pendidikan nasional juga harus memiliki standar tertentu. Namun, peningkatan mutu dan standar pendidikan hanya dengan melaksanakan Ujian Nasional tanpa memperbaiki prasyarat peningkatan kualitas pendidikan, juga tidak dibenarkan.
Banyak kasus sesungguhnya yang menunjukkan bahwa Ujian Nasional tidak cukup kredibel untuk mengukur kualitas seorang siswa, seperti berbagai fakta menunjukkan banyak cara yang tidak jujur dilakukan berbagai pihak, agar siswa bisa lulus Ujian Nasional. Langkah-langkah drilling siswa sebelum ujian supaya dapat menyiasati soal-soal ujian yang berbasis pilihan ganda.
Sehingga, sekolah tidak ubahnya seperti lembaga kursus/bimbingan belajar. Tidak sedikit pula, sekolah-sekolah yang membentuk tim sukses Ujian Nasional, mengingat hasil Ujian Nasional yang tinggi akan menjadi indikator 'keberhasilan' kinerja pemerintah kabupaten dan kota di seluruh Tanah Air. Pemerintah bisa berdalih bahwa Ujian Nasional bukan menjadi satu-satunya penentu kelulusan siswa SMP/SMA, namun faktanya 90 persen siswa yang tidak lulus sekolah disebabkan tidak lulus Ujian Nasional.
Penulis sendiri mendapat temuan di lapangan bahwa mahasiswa sebuah PTS di Jakarta, tidak mampu menjawab soal materi dasar matematika dalam matrikulasi, seperti berapa jumlah 2/3 + 3/5. Lebih dari 30 persen siswa dalam kelas tersebut, tidak dapat menjawab dengan benar, padahal notabene mereka telah dinyatakan 'lulus' Ujian Nasional dan di- drill selama enam bulan terakhir masa sekolah mereka di SMA.
Oleh sebab itu, pemerintah haruslah mengkaji kembali apabila menjadikan Ujian Nasional sebagai faktor untuk menentukan kualitas siswa. Apalagi, ditambah keinginan untuk mengintegrasikan Ujian Nasional dengan ujian masuk perguruan tinggi, haruslah dikaji lebih mendalam. Filosofi keduanya sangatlah berbeda, jika Ujian Nasional adalah tes evaluasi untuk mengukur sejauh mana siswa SMA/SMP dapat menguasai materi mata pelajaran yang mereka dapatkan selama tiga tahun, tes masuk perguruan tinggi adalah tes prediksi yang mengukur sejauh mana calon mahasiswa tersebut dapat mengikuti perkuliahan selama empat tahun mendatang dengan baik.
Sehingga, ada kasus seorang siswa SMA bisa saja lulus UMPTN, tetapi tidak diterima di jurusan yang dipilih karena calon mahasiswa tersebut tidak lolos tes kesehatan karena buta warna. Hal-hal, seperti tes IQ dan kesehatan, tentulah tidak akan mungkin tergantikan dengan hanya kelulusan Ujian Nasional semata.
Pemerintah dan para profesional pendidikan di Indonesia hendaknya mau membuka diri bahwa mutu sumber daya manusia (SDM) Indonesia harus segera ditingkatkan, mengingat semakin sengitnya persaingan antar bangsa. Pendidikan tak semata-mata bertujuan untuk peningkatan intelektualitas, tapi juga integritas SDM manusia Indonesia di masa datang. Membangun integritas tentu haruslah melalui sebuah proses pendidikan yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, spiritualitas, dan kebangsaan sehingga akan terwujud manusia Indonesia seutuhnya.
Komentar
Posting Komentar