Langsung ke konten utama

: Un dan masa depan pendidikan Indonesia

syamsiar alam
U JIAN nasional (UN) dipastikan akan tetap masuk dalam perbendaharaan kebijakan pendidikan nasional pada tahun depan meskipun hasilnya di tahun ajaran 2009/10 sangat mengecewakan, terutama bagi anak-anak yang belum berhasil lulus. Kekecewaan juga dialami oleh para pengelola kebijakan pendidikan pada hampir semua tingkatan karena mereka selama ini sudah sangat terbiasa dengan hasil kelulusan siswa yang mendekati sempurna meskipun tanpa harus bekerja keras. Hal lain yang juga selalu mengemuka adalah tentang proses berlangsungnya UN itu sendiri; sudah jujur, akan jujur, atau belum jujur.

Potret UN Hasil UN tahun 2009/10 mengindikasikan potret pendidikan kita yang sebenarnya masih buram. Sosoknya masih sangat kontras dengan yang diiklankan di sejumlah media massa selama ini, yang hanya cukup menyebutkan kata `bisa', dan semua program taken for granteed akan terjadi. Gambaran buram itu sudah dengan sangat jelas dan gamblang ditunjukkan dari hasil perolehan siswa-siswa di DIY dan Jakarta pada UN SMA/SMP lalu. Pencapaian secara nasional sebenarnya masih dapat dianggap wajar (reasonable) karena hanya terjadi penurunan sekitar 6%, dari 96% pada tahun lalu menjadi 89,6%. Namun karena DIY dan DKI Jakarta merupakan barometer kemajuan pendidikan selama ini, angka 6% menjadi luput dari penglihatan.

Kasus di kedua daerah ini menjadi sangat menarik untuk diamati, mengingat tingkat kelulusan di Jakarta dan DIY pada tahun ini mengalami penurunan melebihi angka 15%. Padahal Jakarta dan DIY selama ini dikenal memiliki sarana dan prasarana pendidikan yang relatif baik dan lengkap. Tingkat kehidupan sosioekonomi masyarakatnya juga relatif baik, dan diskrepansi kualitas antarsekolah (education gap) juga tidak terlalu lebar. Namun angka kelulusannya ternyata bisa lebih rendah daripada daerah lain, bahkan daerah seperti Papua dan Papua Barat sekalipun yang sarana dan prasarana pembelajarannya lebih terbatas. Kenapa itu bisa terjadi? Apakah karena pengelolaan pendidikan di daerah-daerah lain sudah jauh lebih baik daripada Jakarta dan DIY?
Sebagai bahan perbandingan untuk menilai kinerja pemerintah dalam mengelola pendidikan selama ini, kita juga dapat menggunakan hasil survei PISA dan TIMSS terhadap siswa sekolah menengah di Tanah Air. Selama tiga kali kegiatan penilaian TIMSS (Trends in Mathematics and Science Study), yaitu tahun 1999, 2003, dan 2007, hasilnya menunjukkan siswa SMP kita berada di bawah anak-anak dari negara ASEAN lainnya.
Dari tiga periode tes pada mata pelajaran matematika, siswa SMP kita hanya memperoleh skor 403, 411, dan 405 (skala dari 0 hingga 800), dengan rata-rata skor 500. Sebagai pembanding, pada 2007 anak-anak sebaya mereka di Singapura, Malaysia, dan Thailand memperoleh skor 593, 474, dan 441. Sementara itu, hasil PISA (Program for International Assessment of Student) juga menunjukkan keadaan yang serupa. Pada 2006, skor perolehan siswa SMP pada matematika dan sains (IPA) bertengger hanya pada angka 391 dan 393 (skala 0-800), padahal rata-rata skor sebesar 500. Apabila perolehan sko pada PISA kita transformasikan pada band descriptors yang juga dikembangkan lembaga itu, potret pendidikan menengah yang kita peroleh lebih mencemaskan lagi. Penjelasan makna dari skor yang diperoleh siswa SMP kita pada band descriptors menunjukkan bahwa kualitas pembelajaran yang dilakukan guru di balik pintu ruang kelas sejauh ini masih sangat rendah.
Dinas pendidikan dan kepala sekolah diduga masih kurang memberikan perhatian pada proses pembelajaran di kelas sehingga keadaan itu (rendahnya mutu pembelajaran) terus bertahan sebagaimana yang diperlihatkan sebagaimana yang diperlihatkan dari hasil siswa pada penilaian TIMSS dan PISA di muka.
Kurangnya perhatian itu apakah hanya masalah kelalaian atau disebabkan faktor yang lebih substantif, seperti minimnya pengetahuan tentang manajemen pembelajaran, pemanfaatan data untuk pening katan mutu pembelajaran, dan k pemimpinan. Pertanyaan-pertanyaan pemimpinan. Pertanyaan-pertanyaan itu harus dapat ditemukan jawabannya agar pendidikan dapat lebih rigorous dan memiliki daya saing. Pada band descriptors dijelaskan, perolehan skor sampai dengan 450 menunjukkan bahwa siswa (testees) hanya mampu menjawab soal-soal tes yang mengukur kemampuan ingatan (recalling), pemahaman, dan sedikit aplikasi, jika kita merujuk pada educational objectives dari Benjamin Bloom. Sedangkan soal-soal tes yang mengukur kemampuan analitis dan pemecahan masalah berada di atas angka 450. Jadi, hasil TIMSS dan PISA memberikan gambaran betapa rendahnya kualitas pembelajaran dan penilaian di banyak lembaga pendidikan kita.
Hasil TIMSS dan PISA ini juga hampir sama dengan beberapa temuan awal dari hasil studi terhadap kemampuan siswa dan guru SMA/ madrasah aliah pada mata pelajaran matematika, sains, bahasa, dan sosial di Kabupaten Lahat dan Muara Enim, Sumatra Selatan, yang dilakukan Gerutas Indonesia pada 2009. Siswa-siswa di kedua kabupaten itu mengalami kesulitan dalam menjawab soal-soal tes yang mengukur kemampuan analitis, pemecahan masalah, dan interpretasi pada soal-soal bahasa Indonesia dan Ing gris. Dari hasil studi itu juga ditemukan bahwa proses pembelajar an dan pe nilaian yang dilakukan guru hanya mengguna kan dan m e n g andalkan sum ber atau bahan yang sangat terbatas seperti buku-buku teks (course books). Guru kurang memiliki kemampuan untuk mengolah dan mengem bangkan bahan pembelajaran se hingga bisa lebih menantang dan berkualitas. Pembelajaran lebih banyak menggunakan kegiatan hafalan (rote learning) sehingga kemampuan siswa kurang dan jarang sekali diekspose dengan model pembe lajaran yang dapat menumbuh kan kreativitas, kemampuan menganalisis, dan memecah kan masalah. Pada pembelajaran membaca, misalnya, siswa hanya dilatih untuk sekadar memahami teks bacaan (reading comprehension), tetapi sangat sedikit siswa dilatih agar dapat menafsirkan apalagi diajak untuk mengkritisi teks (critical reading) dan mengikuti alur atau siklus pembelajaran yang mencerahkan semacam transformative reading.
Lagi, evaluasi UN UN, meskipun hasilnya menunjukkan penurunan yang cukup tajam pada sejumlah daerah, tetap belum dapat dikatakan sudah berhasil memotret keadaan kualitas pendidikan menengah dengan baik. Data kelulusannya masih menimbulkan sejumlah pertanyaan. Sebagaimana dilaporkan banyak media, pelaksanaan UN masih menyimpan berbagai masalah.
Administrasi UN masih belum memenuhi standar kelayakan untuk sebuah praktik penilaian yang bisa dikategorikan sebagai highstake exams atau praktik penilaian yang hasilnya akan digunakan untuk kepentingan kelulusan dan sertifikasi.
Selain persoalan administrasi, kualitas materi soal yang akan digunakan masih belum memadai (inadequate) jika hasilnya akan dijadikan dasar untuk mengukur kemajuan pendidikan nasional. Karena itu, penyempurnaan materi soal tes mutlak harus dilakukan apabila hasil UN akan terus digunakan sebagai barometer mutu pendidikan nasional dan untuk mengetahui tingkat kesiapan anak-anak Indonesia memasuki persaingan global, yang perekonomiannya sudah berbasiskan pada ilmu pengetahuan (knowledge based economy).
Substansi materi soal tes saat ini menjadi bahan diskusi dan kajian yang serius di banyak negara, khususnya negara-negara yang masih memberlakukan high-stake exams bagi siswasiswa sekolah dasar dan menengah. Negaranegara itu sudah berbicara perihal yang lebih substantif, yaitu tentang materi soal apa yang paling dibutuhkan bagi anak-anak saat ini sehingga mereka dapat lebih mudah menyesuaikan diri dalam dunia yang cepat berubah.
Anak-anak harus dibekali dengan kemampuan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah pada saat mereka menemukan/dihadapkan pada sebuah kasus. Karena itu, soalsoal tes yang dikembangkan harus dapat mengcapture kemampuan siswa dalam memecahkan masalah (problem solving), berpikir kritis dan analitis (critical and analitical thinkings), dan aplikatif.
Dengan memperhatikan pencapaian negaranegara jiran, sistem dan desain penilaian ke depan hendaknya dapat dihubungkan dengan sistem penilaian yang dikembangkan oleh negara-negara maju yang dijadikan referensi.
Sedangkan pada tataran nasional, melakukan kajian secara lebih intensif dan komprehensif terhadap keselarasan kurikulum (curriculum alignment) adalah kebutuhan sangat mendesak.
Keselarasan antara perencanaan, pembelajaran, kurikulum, standar, dan penilaian harus terjadi, baik secara substansi maupun per jenjang dan tingkatan pendidikan. Keselarasan kurikulum dapat membantu pemerintah dalam menyusun berbagai regulasi dan tindakan penyempurnaan terhadap standar, pembelajaran, dan penilaian.
Adapun bagi sekolah, hasil alignment juga dapat digunakan untuk membantu menyiapkan siswa pada setiap event ujian. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah-sitilah dalam bidang Seni dan Budaya

Istilah-sitilah dalam bidang Seni dan Budaya Aesteties : bersifat indah, karya seni yang indah, nilai-nilai keindahan. Aliran : ciri ekspresi personal yang khas dari seniman dalam menyajikan karyanya – isi karya (makna). Alur : rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama dan menggerakkan jalan cerita melalui kerumitan cerita kearah klimaks dan penyelesaian. Antagonis : tokoh pertentangan, lawan tokoh protagonist. Anti Tips Casting : pemilihan pemain berlawanan dengan sifat asli pemain. Art Seni : kepandaian, sesuatu yang indah, kagunan, anggitan. Atmos : suasana perasaan yang bersifat imajinatif dalam naskah drama yang diciptakan pengarangnya. Atau suasana berkarakter yang tercipta dalam pergelaran drama. Babak : bagian besar dari suatu drama atau lakon (terdiri atas beberapa adegan). Balance : keseimbangan unsur rupa. Basics design : dasar-dasar desain, nirmana. Basics visual : dasar-dasar rupa, rupa dasar. Blocking : teknik pengaturan langkah-

Istilah-istilah dalam Bidang Software (Perangkat Lunak)

Abstraction Merupakan prinsip penyederhanaan dari sesuatu yang kompleks dengan cara memodelkan kelas sesuai dengan masalahnya Algoritma Urutan langkah-langkah logis penyelesaian masalah yang disusun secara sistematis  Array Struktur data yang menyimpan sekumpulan elemen yang bertipe sama Atribut Karakteristik atau ciri yang membedakan antara entitas satu dengan entitas yang lainnya Authentication Proses memeriksa keabsahan seseorang sebagai user (pengguna) pada suatu system (misalnya pada DBMS) Basic Input/Output System (BIOS) Kode-kode program yang pertama kali dijalankan ketika komputer dinyalakan (booting) Basis data (database) Kumpulan dari data yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tersimpan dalam perangkat keras komputer dan digunakan perangkat lunak untuk memanipulasinya Command Line Interface (CLI) Antar muka pengguna dengan model perintah-perintah teks Compiler Penerjemah bahasa pemrograman tingkat tinggi ke bahasa mesin

Istilah dalam bidang kuliner - Masakan

R Ready plate : siap diracik dipiring Robert sauce : merupakan turunan saus demiglace yang ditambah dengan bawang Bombay, anggur putih, mustard, merica dan cuka Rolled : Potongan tipis dan digulung pada proses membuat Rolled Beef Rosemary : Dipakai untuk membumbui pada waktu membuat Roast dari Beef, poultry Roux : Kombinasi flour (terigu) dan butter sebagai pengental soup atau sauce. Bila prosesnya dengan panas disebut Roux. Jika dingin istilahnya burre manie Rub : Mengoleskan sesuatu bahan ke atas permukaan hidangan agar memperoleh warna mengkilat S Salad : Hidangan yang berasal dari bahan makanan yang segar dengan sauce yang berasa asam Salad dressing : Saus yang mendampingi hidangan salad Salamander : Oven dengan menggunakan api atas untuk memberi warna coklat pada permukaan hidangan Sasaran pemasaran : gambaran keinginan perusahaan di masa depan. Sasaran pemasaran dapat dibuat jangka pendek atau jangka panjang. Sauce : Caian semi liquid yang digunakan sebagai pengaro